REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan RI telah menerbitkan Peraturan Nomor 163/PMK.05/2015 tentang perkiraan defisit yang melampaui target defisit APBN Tahun 2015 dan tambahan pembiayaan defisit yang diperkirakan melampaui target defisit APBN 2015. Pada tahun 2015, target defisit yaitu sekitar Rp 222,5 triliun atau sekitar 1,9 persen dari PDB.
Dalam laporan semester I APBNP 2015, realisasi defisit diperkirakan sebesar Rp 76,43 triliun atau 0,66 persen PDB. Sementara pada paruh kedua 2015, defisit APBNP 2015 diperkirakan sebesar Rp183,59 triliun atau 1,58 persen PDB. Dengan demikian, realisasi defisit fiskal pada 2015 diyakini melebar dari Rp 222,5 triliun atau 1,9 persen PDB menjadi Rp 260,02 triliun atau 2,23 persen PDB. Dalam hal ini, defisit APBNP 2015 diperkirakan naik sekitar Rp 38 triliun rupiah.
Menurut PMK tersebut, perkiraan tambahan defisit dibiayai dengan menggunakan tambahan pembiayaan, yang bersumber dari Dana Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman siaga, dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Untuk SAL, hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan khusus untuk tambahan dari SBN, pada hari Selasa (1/9) telah dilakukan Rencana Lelang Surat Utang Negara SPN03151202 (New Issuance), SPN12160902 (New Issuance), FR0053 (Reopening), FR0056 (Reopening), Dan FR0072 (Reopening). Jumlah indikatif yang dilelang sebesar Rp 10 triliun untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2015.
Menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), permasalahan kenaikan defisit disebabkan oleh target penerimaan pajak rendah. "Laporan Semester I APBNP 2015 menunjukkan realisasi penerimaan pajak pada akhir tahun ini diperkirakan hanya 91,8 persen dari target Rp 1.294,25 triliun," kata Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Soetjipto, Selasa (1/9) malam. Sementara itu, realisasi belanja negara diprediksi sebesar 96 persen dari pagu Rp 1.984,1 triliun.
Menurut dia, Kondisi keuangan negara berada dalam bahaya karena defisit mendekati tiga persen. Defisit yang bertambah ini berdampak pada meningkatnya rasio desifit hingga tiga persen sesuai dengan PMK. "Kondisi ini lampu kuning pengelolaan APBN," ucapnya.
Pemerintah harus menaikkan target pendapatan pajak, bukan obral pajak pada pengusaha. "Defisit naik akibat pendapatan pajak yang rendah," kata dia.
Dalam RAPBN 2016, seharusnya pemerintah menekan angka defisit agar tidak sampai menyentuh tiga persen. Namun, sayangnya pemerintah mengajukan kenaikan defisit sebesar Rp 273 triliun naik 50,7 trilun dari APBNP 2015. Oleh Karena itu, FITRA menuntut agar Jokowi mencabut PMK kenaikan defisit ini dan mengganti dengan peningkatan target pajak yang signifikan dari pengusaha konglomerat Indonesia dan perusahaan asing.