Rabu 02 Sep 2015 17:42 WIB

Jadi Muslim, Penguasa Djenne Ubah Istana Jadi Masjid

Masjid Djinguereber di Timbuktu
Masjid Djinguereber di Timbuktu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sebagian orang sudah mengenal dengan baik negara Mali. Yaitu, negara yang terletak di kawasan Afrika bagian Barat. Di negara ini, umat Islam tumbuh subur. Umat Islam di negara ini cukup lumayan, kendati tak sebesar negara lainnya. Kendati demikian, komunitas Muslim di negara ini memiliki keunikan. Dan karena keunikan itulah, banyak orang menjadi kenal dengan negara ini.

Djenne, itu nama sebuah kota kecil di pusat Mali, Afrika Barat. Kota Djenne merupakan kota tertua di negara sub-Sahara Afrika itu. Terletak di kawasan lahan banjir yang dilintasi dua sungai, yakni Niger dan Bani.

Bagi yang belum pernah bertandang ke kota berjarak 354 kilometer di barat daya Timbuktu ini, memang tak mengira, kalau di kota ini jumlah Muslim cukup banyak. Dan karena komunitas Muslim itulah, mereka pun mendirikan masjid sebagai tempat ibadah.

Di sinilah letak keunikannya. Bila tempat ibadah umat Islam yakni masjid, identik dengan bahan bangunan yang mewah, lalu ada kubah, menara, dan berbagai bahan-bahan mahal lainnya, jangan pernah berharap bisa menemukan itu semua di masjid milik warga Djenne ini. Mengapa? Karena masjid ini dibangun dengan bahan dasar lumpur, yang diambil dari dua buah sungai yang melintasi Kota Djenne.

Secara kasat mata, orang tentu tidak akan membayangkan bahwa bangunan persegi empat layaknya ‘penjara’ itu sebuah tempat ibadah. Karena memang tidak ada yang secara spesifik dari bangunan itu. Bahkan, tampak beberapa potong kayu yang menjulur ke luar bangunan, layaknya permukiman orang-orang Eskimo. Karena itulah, bangunan tak lazim yang dinamakan dengan Masjid Agung Djenne itu sebagai tempat ibadah.

Mengapa tak lazim? Bentuknya tak seperti masjid-masjid lain yang cenderung mengacu ke bentuk masjid atau bangunan di Timur Tengah yang dibangun pada masa keemasan Islam. Masjid Agung Djenne justru terkesan polos dan minim ornamen. Namun, justru karya ini menunjukkan jika sang arsitek paham benar bagaimana menghadirkan masjid dengan identitas lokal, rendah hati, tapi tidak mengurangi aura sakral dan monumental dari sebuah masjid agung.

Karena keunikan inilah yang menjadikan bangunan Masjid Agung Djenne sebagai salah satu landmark yang terpenting dan terkenal dari Kota Djenne. Bahkan, karena ketaklaziman itu tadi, maka masjid ini diakui sebagai salah satu dari 10 masjid terunik di dunia.

Djenne, selain dikenal sebagai kota perdagangan, juga dikenal sebagai kota peziarah dan pusat studi Islam. Masjid Agung itu sendiri dari awal dibangun hingga kini mendominasi alun-alun pasar utama di kota tersebut.

Menurut sejumlah literatur, penduduk Djenne memiliki masjid pertama kali pada 1240, yang dibangun oleh Sultan Koi. Penguasa Djenne ini setelah memeluk Islam lantas mengubah istananya menjadi masjid.

Sangat sedikit yang tahu dan berhasil melacak bentuk serta tampilan masjid pertama itu. Namun Syekh Amadou, pemimpin Kota Djene di awal abad ke-19, menganggap masjid itu terlalu mewah dan berlebihan. Syekh pun membangun masjid kedua pada 1830, dan memerintahkan merobohkan masjid pertama, saat masjid kedua rampung. Sementara Masjid Agung Djenne yang tak lazim itu dibangun pada 1906.

Saat berada di bawah kendali Pemerintah Prancis, mereka menawarkan kepada Pemerintah Mali, sejumlah bantuan finansial dan politik untuk pembangunan masjid. Dari dari bantuan itu, akhirnya proses pembangunan masjid bisa diselesaikan dalam tempo satu tahun, tepatnya 1907.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement