REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagaimana dilaporkan laman situs Sacred Sites, masjid yang dikonstruksi di bawah pengawasan ahli bangunan bernama Ismaila Traore ini, terbuat dari batu bata lumpur yang dikeringkan dengan sinar matahari (ferey) dan berbahan dasar semen. Sementara lapisan luar menggunakan plester juga berbahan dasar lumpur sehingga memberi tampilan halus berkelok, layaknya patung.
Dinding memiliki ketebalan antara 40-60 cm. Ketebalan ini sangat bergantung pada tinggi tembok. Dinding lebih tinggi akan dibuat lebih tebal karena harus menopang struktur lebih berat. Selama pagi hingga sore, dinding-dinding itu secara perlahan menghangat dari luar ke dalam. Di malam hari mereka mendingin lagi. Namun radiasi panas yang dihantarkan dinding membuat suhu udara dalam masjid tetap hangat dan sejuk meski udara di luar mendingin drastis.
Ruang utama masjid dengan sembilan puluh pilar kayu menopang langit-langit dapat menampung hingga 3.000 orang. Sifat dingin kayu ikut membantu interior masjid tetap sejuk di waktu siang hingga sore. Masjid agung itu juga memiliki ventilasi udara dengan penutup keramik. Penutup yang dibuat oleh perajin wanita setempat itu dapat dipindahkan di malam hari untuk ventilasi udara dalam masjid.
Saat membangun dan merencanakan konstruksi, kerusakan akibat air bah menjadi perhatian utama Traore. Apalagi banjir akibat Sungai Bani meluap terjadi rutin tiap tahun. Untuk mengatasi itu, Traore pun mendesain pulau buatan, yakni landasan yang ditinggikan dengan permukaan seluas 5.635 meter persegi sebagai tempat berdirinya masjid. Landasan tersebut sejauh ini mampu melindungi masjid bahkan dari banjir mengerikan sekalipun.
Selain bahan alam lumpur yang bersahaja, terdapat pula struktur rangka kayu dari batang palm. Kayu-kayu itu tidak berfungsi sebagai balok, melainkan pendukung dan penguat. Struktur ini dibutuhkan untuk mengikat tanah liat dan mengurangi pecahan lumpur yang diakibatkan perubahan suhu dan kelembaban yang sangat tajam di area itu.
Selain sebagai penguat, kayu-kayu itu berfungsi sebagai penopang otomatis yang berguna saat perbaikan tahunan. Kayu-kayu itu memang memiliki alasan fungsi kuat, namun batangnya yang mencuat dari dinding-dinding lumpur polos membuat kesan kontras sekaligus memberi aksen estetika bangunan.
Tak lupa pada bagian bangunan di sisi kiblat, Traore menandai dengan tiga menara lumpur yang dominan. Setiap menara itu memiliki tangga spiral menuju atap, dan di setiap atap berbentuk kerucut spiral, diletakkan telur burung unta yang diyakini masyarakat setempat sebagai perlambang kesuburan dan kemurnian.
Sumber: Pusat Data Republika