Rabu 02 Sep 2015 20:15 WIB

Tradisi Memplester Masjid Agung Djenne Terancam Punah

 Masjid Agung Djenne di Mali, Afrika Barat.
Foto: sacredsites.com
Masjid Agung Djenne di Mali, Afrika Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karena bahan dasarnya terbuat dari lumpur, maka bisa dipastikan bangunannya tidak akan bertahan lama. Untuk mengatasinya, maka pada saat musim panas, masjid tersebut dirawat atau diperbaiki ulang setiap tahunnya dengan pengawasan yang melibatkan 80 ahli bangunan senior.

Saat renovasi dan perbaikan berlangsung, kegiatan itu menjadi festival menarik bagi warga Djenne. Apa pasal? Sebab, banyak warga yang terlibat dalam pekerjaan mempersiapkan banco (campuran lumpur dengan gabah) untuk acara itu.

Menurut para pengunjung yang menyaksikan di tahun 1987, acara itu bisa dikatakan upacara masyarakat dengan banyak pengunjung. Karena keunikan dan banyaknya orang ‘bermandi lumpur’ itu, maka banyak orang tertawa dan akhirnya menjadi semacam festival setiap tahun.

Berikut adalah penuturan seorang turis tahun 1987 yang dikutip di situs Sacred Sites. "Setiap musim panas masjid agung diplester ulang. Itu menjadi festival yang menarik, riuh, kacau, menyenangkan, namun juga penuh kehati-hatian. Selama beberapa minggu lumpur dituangkan. Ember-ember penuh dengan larutan kental diaduk dan diratakan dengan kaki telanjang anak-anak lelaki.

Lalu malam sebelum memplester, muncul pertunjukan jalanan penuh nyanyian, tetabuhan drum, siulan flute. Tak lama tiupan pluit keras terdengar tiga kali berturut. Masuk tiupan keempat, ratusan suara bergema dan bergalon-galon lumpur dituangkan.

Saat fajar proses pemlesteran sesungguhnya telah berjalan. Kerumunan wanita dengan ember berisi air di atas kepala mendekati masjid. Tim  yang lain membawa lumpur. Orang-orang berkomunikasi dengan yang lain sambil berteriak di area persegi raksasa itu sambil mengoles dan bekerja.

Kerja dan bermain menjadi satu, anak-anak muda di mana-mana, membuat kue dari lumpur dari kepala hingga ibu jari."

Tradisi hampir punah

Hanya saja festival tahunan itu terancam punah. Para ahli bangunan kini sulit mencari dukungan anak-anak muda dalam festival memoles ulang. Banyak pemuda memilih mencari uang sebagai pemandu turis meninggalkan Djenne menuju Kota Bamako yang lebih menjajikan. Pada 1988, kota tua Djenne dan masjid agungnya diresmikan menjadi situs bersejarah oleh UNESCO

Umat Muslim dan turis dari seluruh dunia datang mengagumi struktur bangunan masjid. Selain sebagai tempat ibadah bagi umat Islam, ada pula yang hanya sekadar menyaksikan kekagumannya dan mempelajari teknik pembuatannya.

Ada yang berdoa, belajar, dan juga berguru. Masyarakat kurang mampu dari sekitar Kota Djenne pun mengirim anak-anak mereka setiap bulan atau setiap tahun, untuk belajar menulis dan membaca di sana.

Kini bangunan tersebut masih menjulang dan menampung para jamaah Muslim Kota Djenne saat waktu shalat tiba. Fasad atau tampang bangunan, menara, serta simbol telur burung unta itu sebenarnya adalah elemen sama yang bisa ditemukan di bentuk rumah-rumah penduduk Djenne.

Desain yang membuat masjid agung  terlihat rendah hati dan menyatu dengan lingkungan lokal. Jauh sebelum gagasan arsitektur ramah lingkungan yang tanggap iklim setempat, menjadi salah satu isu, terutama terkait pemanasan global,  Masjid Agung Djenne telah menerapkannya dengan bersahaja.

 

Sumber: Pusat Data Republika

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement