Jumat 04 Sep 2015 15:06 WIB

Dinamika Lembaga Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia

Rep: c 38/ Red: Indah Wulandari
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Foto: Republika/Heri Purwata
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia mulai berkembang sekitar 1930an dengan berbagai dinamika keagamaan.

Abuddin Nata menegaskannya dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.  Lewat tulisannya, negarawan Indonesia Mohammad Natsir menyambut baik gagasan ini. Sayangnya, cita-cita ini tidak dapat terlaksana lantaran ketidakstabilan politik.

Universitas Islam Indonesia (UII) tercatat sebagai universitas Islam pertama di Indonesia. Situs resmi UII mengisahkan, gagasan pendirian universitas ini berawal dari sidang umum Masjoemi (Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia) tahun 1945. 

Pertemuan itu dihadiri beberapa tokoh, termasuk Bung Hatta, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan KH Wachid Hasyim. Mereka sepakat membentuk Sekolah Tinggi Islam (STI). STI berdiri tanggal 8 Juli 1945, kemudian berkembang menjadi Universitas Islam Indonesia tahun 1947.

Pada 1960, sebuah langkah penting diambil untuk mendorong pengembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Langkah itu dimulai tahun 1950 tatkala pemerintah mengambil alih Fakultas Agama Islam UII menjadi PTAIN di Yogyakarta.

Di Jakarta, Departemen Agama juga mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (SDIA) tahun 1957. Pendirian ADIA bertujuan meningkatkan kualitas pegawai negeri di bidang keagamaan.

Tahun 1960, dilakukan penggabungan PTAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN pertama diresmikan di Yogyakarta pada tanggal 24 Agustus 1960 oleh Menteri Agama RI kala itu, KH Wahib Wahab.

Pada tahap awal, IAIN ini memiliki empat fakultas. Fakultas Ushuluddin dan Syariah di Yogyakarta, sedangkan fakultas Adab dan Tarbiyah di Jakarta. Inilah yang kemudian berkembang menjadi UIN Yogya dan UIN Jakarta. Pada waktu-waktu kemudian, IAIN mulai bertebaran di seluruh Indonesia.

Pendirian perguruan tinggi Islam ini membawa dampak penting bagi kaum Muslim. Santri memiliki wadah untuk melanjutkan pendidikan tinggi mereka.

Azyumardi Azra dalam makalah bertajuk “The Making and Development of Islamic Studies (IIS): A Tribute to Steenbrink and van Bruinessen” mengungkapkan, lulusan IAIN/UIN adalah pembentuk utama komunitas menengah Muslim di Indonesia. Lulusan IAIN/UIN turut menyumbang tingginya angka ledakan intelektual Islam tahun 70-an.

Studi Islam di IAIN/UIN, dapat dikatakan, masih mencari arah. Azra menjelaskan, pengkajian Islam di Indonesia dibentuk oleh dua tradisi, yaitu tradisi Timur Tengah dan tradisi Barat. Masing-masing tradisi membawa pengaruh dan pendekatan berbeda dalam membentuk corak pengkajian Islam di UIN/IAIN.

Pada tahap awal, perkembangan studi Islam banyak dipengaruhi tradisi keilmuan Islam asal Timur Tengah. Kemudian, perkembangan studi Islam menunjukkan arah berbeda seiring bertambahnya lulusan UIN/IAIN yang melanjutkan studi di Barat.

Studi Islam tidak lagi berdasarkan pada mahzab tertentu, tetapi berbagai perspektif. Kemudian, ada pergeseran studi Islam dari pendekatan normatif kepada pendekatan sosio-historis. Harun Nasution dan Mukti Ali merupakan tokoh yang banyak mempengaruhi arah perkembangan studi IAIN/UIN.

Transformasi IAIN ke UIN merupakan fase bersejarah dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Transformasi itu dimulai sejak zaman Malik Fadjar menjabat Menteri Pendidikan. Tahun 2002, IAIN Jakarta berubah menjadi UIN, diikuti oleh IAIN Yogyakarta dan IAIN Malang dua tahun kemudian.

Sempat terhenti pada masa Maftuh Basyuni, transformasi berlanjut kembali masa Suryadharma Ali. Sampai saat ini, sudah ada sepuluh IAIN dan satu STAIN berubah menjadi UIN.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement