REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Anang Iskandar meminta doa restu akan segera dilantik menjadi Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri (Kabareskrim Mabes Polri) yang baru. Anang akan tukar guling jabatan dengan Komjen Budi Waseso yang sebelumnya menjadi Kabareskrim.
Anang yang akan segera dilantik ini menjanjikan tidak akan menghentikan kasus-kasus yang sudah ditangani oleh Kabareskrim lama. Bahkan, dalam pengakuannya, selama 32 tahun bertugas dengan latar belakang penyidik, belum pernah ada atasan yang memintanya menghentikan kasus yang ditangani.
“Saya belum pernah ditelepon atasan untuk hentikan penyidikan kasus, kalau ada nanti saya kasih tahu,” kata Anang di Jakarta, Sabtu (5/9).
Anang menambahkan, ada 3 hal yang dijadikannya pegangan dalam menangani kasus. Pertama, pemahaman masyarakat dalam penegakan hukum memengaruhi. Kedua, pihaknya berpegang pada pencegahan sebelum penegakan lebih penting.
Bagaimana mencegah terjadinya sesuatu sebelum terjadi kerusakan yang lebih besar. Penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik jika masyarakat tetap tertib dan mematuhi hukum. Jika diibaratkan, kata dia, bagaimana menangkap ikan dengan air yang tetap bening ada di kolam. Ini soal seni dan pengalaman.
Ketiga adalah soal dampak penegakan hukum. Menurut Anang, ketiga hal ini harus selalu diperhatikan dalam menegakkan hukum. Jadi, tidak semata-mata berapa banyak menangkap orang dan memasukkannya ke penjara. Harus selalu diperhatikan bagaimana dampaknya di masyarakat. Kasus kecil bisa menjadi polemik dan ramai jika penanganannya dilakukan dengan gaduh. Kasus besar juga bisa dibuat seperti kecil, tergantung bagaimana penanganannya. Ini seni masing-masing penegak hukum.
“Tidak semata-mata berapa banyak menangkap dan memasukkan orang ke penjara, tapi kalau menimbulkan kegaduhan apa artinya,” tegas Anang.
Menurut Anang, setiap kasus memerlukan penanganan dan hukuman berbeda. Tergantung dari kasusnya. Penanganan kasus tidak bisa dilakukan dengan disamaratakan, atau istilah Jawa ‘digebyah uyah’ (disiram garam). Agar orang dapat ditangkap namun tetap membiarkan keadaan tidak keruh.