REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan petinggi DPR Setya Novanto dan Fadli Zon dengan capres AS dari Partai Republik Donald Trump tidak sesuai arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Secara politik, para petinggi DPR harusnya menghormati urusan perpolitikan dalam negeri setiap negara, termasuk Amerika Serikat (AS).
Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono mengatakan, hendaknya ada penghormatan prinsip menghormati proses politik masing-masing negara. Menjadi masalah kalau itu dilakukan dalam kerangka pertarungan politik satu calon ke calon lain. "Ini bisa melanggar prinsip penghormatan terhadap dalam negeri masing-masing," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (6/9).
Kedatangan Setya dan Fadli, kata Teguh, bukan datang atas nama pribadi melainkan membawa nama jabatan pimpinan DPR. "Sebagai pribadi pun salah apalagi atas nama DPR, karena mereka sedang berada di luar negeri sehingga tindakan mereka tidak benar," ucapnya.
Meski Fadli telah mengatakan bahwa kedatangannya bukan untuk mendukung kampanye Trump, namun itu bukanlah alasan pembenar. "Itu kan yang dipersepsikan Fadli, sementara yang publik ketahui ya berasal dari perilaku politik beliau, bukan hanya dari pernyataannya semata," kata Teguh.
Kehadiran petinggi DPR mau tidak mau menunjukkan penghormatan atau kesiapan untuk mendukung majunya Trump sebagai orang nomor satu AS. "Sekali pun dia bilang tidak mendukung, tapi faktanya ada di sana," ujarnya.
Pertemuan tersebut bertambah pelik ketika dilakukan di depan para pendukung Trump. Apalagi, Trump sempat memperkenalkan mereka sebagai ketua DPR Indonesia dan menanyakan perihal rasa suka masyarakat Indonesia pada dirinya.
"Jawaban iya yang dilontarkan Setya bisa menggiring persepsi bahwa Indonesia mendukung Trump. Ini bisa dipolitisasi, ke situ arahnya," ucap Teguh menjelaskan.