REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Perusahaan PLN, Adi Supriono menanggapi perihal perhitungan token listrik. Menurutnya, ini ada kekeliruan antara Rupiah dan kWh pada listrik.
"Kita ambil contoh 100 ribu seperti yang disebutkan ya," ujarnya pada Republika.co.id, Selasa, (8/9).
Saat pelanggan membeli token listrik senilai Rp 100 ribu, maka dia akan dikenai dua jenis potongan. Potongan Administrasi bank dan potongan pajak penerangan jalan (PPJ). Untuk potongan Admin Bank sendiri ini bermacam-macam, tergantung pada kebijakan dari bank masing-masing.
Potongan Admin bank ini berkisar antara Rp 1600 sampai Rp 3600. "Tergantung yang digunakan sebagai tempat membayar ini bank mana, tapi coba kita ambil potongannya dua ribu," ujar Adi.
Dari pembelian Rp 100 ribu maka uang yang tersisa Rp 98 ribu, karena mengalami pemotongan Admin Bank Rp 2 ribu. Kemudian potongan selanjutnya, PPJ sebesar 2,4 persen untuk wilayah Jakarta. PPJ sebesar 2,4 ini senilai Rp 2200.
Maka, Rp 100 ribu dikenai potongan Admin Bank dan PPJ (Rp 2000+2200= 2400) tersisa Rp 95.800. "Nah, kalau dibelikan listrik dengan harga 1352/kWh, maka akan keluar angka yang 73 kWh, jadi 73 ini bukan ribu tapi 73 kWh " jelas Adi
Jadi menurutnya, ini ada kekeliruan dalam penyebutan antara Rupiah dan kWh. Sedangkan untuk masyarakat sendiri, Adi menegaskan tentunya masyarakat sudah paham dengan perhitungan tersebut yang memang untuk potongan admin bank dan PPJ sudah tersebutkan di dalam struk transaksi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menuding ada mafia dalam penjualan token (pulsa) listrik. Alhasil, masyarakat harus membayar mahal pulsa yang dibelinya dengan daya listrik terpasang 1.300 VA di rumahnya.
"Saat mereka beli pulsa Rp 100 ribu, listriknya hanya Rp 73 ribu. Kejam sekali itu 27 persen disedot oleh provider yang setengah mafia," kata Rizal di Jakarta, Senin (7/9).