REPUBLIKA.CO.ID, oleh Komaruddin Hidayat
Seorang muslimah pejuang keadilan gender berkesempatan pergi haji. Banyak pengalaman yang mengesankan dan menarik diceritakan. Salah satunya adalah dia kaget melihat suasana yang egaliter dan membaur antara laki dan perempuan di Masjidil Haram, Makkah.
Maklum, gambaran yang berkembang, terutama di Barat, Islam itu mengungkung wanita. Dan itu ada benarnya jika melihat realitas sosial di lingkungan Arab Saudi. Namun dia menjadi kaget dan termenung, bukankah Masjidil Haram merupakan pusat Islam? Bukankah di sini, di sekitar Kabah ini, nilai-nilai dasar Islam dipraktikkan?
Dia mengamati hal-hal yang tampaknya sepele tetapi baginya sangat mendasar. Ketika di masjid, posisi laki-laki dan perempuan sama untuk mengakses ke Kabah. Posisi depan dan belakang menjadi hilang karena formasinya melingkar. Ketika thawaf, laki-laki dan perempuan juga berbaur. Ini kontradiksi dengan tradisi sebagian kawan kita yang memisahkan laki-laki dan perempuan ketika menghadiri pesta perkawinan.
Coba saja perhatikan ketika mereka tengah thawaf atau ingin mencium hajar aswad dan mendekat pada dinding Kabah, semua memiliki hak yang sama. Semakin dekat dengan Kabah yang merupakan pengikat dan simbol tauhid, umat Islam, entah laki maupun perempuan, terlepas apa mazhab, parpol dan kebangsaan mereka, semuanya rukun dan memiliki hak yang sama untuk mendekati Tuhan. Ibarat roda, Ka’bah adalah poros pusat yang mempertemukan ruji-ruji. Semakin ke pusat maka semakin dekat ruji-ruji itu, namun semakin bergerak ke luar maka jarak ruji-ruji semakin menjauh.