REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman tengah memutuskan untuk merevisi target pembangunan pembangkit listrik untuk beban puncak 2019. Dari proyeksi 35 Ribu Mega Watt (MW) diturunkan menjadi 16.167 MW.
Namun langkah yang diambil pemerintah itu dinilai tak berbanding lurus dengan fakta yang ada dilapangan. Pengamat ekonomi Arif Ansori Yusuf menilai ditengah kebutuhan masyarakat dan industri terhadap pasokan listrik, langkah untuk merevisi target pembangunan justu terlihat janggal.
"Jika memang itu terjadi aneh, menunjukan pemerintah carut marut perencanaannya," kata Arif Ansori saat dihubungi Republika, Kamis (10/9) siang.
Menurutnya dengan masih banyak wilayah-wilayah terpencil yang belum teraliri listrik. Bahkan dibeberapa daerah kerap kali terjadi pemadaman listrik. Target awal yakni kapasitas 35 ribu MW untuk proyek pembangkit listrik hingga 2019 dirasa masih memungkinkan. Terlebih mengingat prospek jangka panjang yang juga berdampak pada dunia usaha.
"Jadi memang sangat dibutuhkan untuk diperbesar, studi di Indonesia menujukan perusahaan harus antisipasi biaya tinggi karena menghadapi kemungkinan listrik itu mati, kalau sampai stop rugi kan," jelasnya.
Alhasil kata Arif banyak perusahaan atau industri mengantisipasi terjadinya pemadaman listrik dengan pengadaan jenset. Meskipun untuk pengadaan jenset, satu perusahaan akan mengeluarkan biaya cost yang terbilang tak sedikit.
Imbasnya kata Arif jika sering terjadi padam listrik hingga mengganggu produksi suatu perusahaan dan industri kemungkinan besar barang produksi yang dijual kepasar pun akan mengalami peningkatan harga. Hal ini untuk menutupi cost dari penggunaan dan perawatan jenset.
"Perusahaan mungkin baik saja, setelah itu yang terjadi barangnya mahal dipasaran, lalu yang kena lagi-lagi masyarakat," katanya.