REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju perkembangan ekonomi Tanah Air akhir-akhir ini cukup mencemaskan. Rupiah terus melorot ke ambang paling kritis seperti saat krisis moneter 1998.
Gelombang PHK pun makin nyata. Tak hanya itu, ketersediaan dan harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin. Prediksi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo bahwa pertumbuhan ekonomi akan meroket di kuartal terakhir tahun ini juga meleset. Hal ini lantaran rendahnya penyerapan fiskal serta merosotnya investasi riil.
Disamping itu daya beli masyarakat terus melemah akibat merosotnya produktivitas masyarakat.
"Semua ini mengingatkan kita pada ancaman fenomena failed state atau negara gagal," kata juru bicara Partai Demokrat, Kastorius Sinaga, Jumat (11/9).
Fenomena negara gagal tidak hanya ditandai oleh pertikaian politik seperti di negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Untuk negara-negara demokratis baru atau emerging market seperti Indonesia, gejala negara gagal selalu dimulai dari ranah ekonomi dan kapabilitas negara di dalam mengelola krisis yang muncul dari sektor ekonomi.
Pemerintah Jokowi-JK harus menyadari ini dan jangan menganggap remeh akan kemungkinan munculnya spiral destruksi krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini. Menurut dia, kalangan masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan krisis yang sangat hebat saat ini.
"Ini bisa mengerus tingkat kepercayaan mereka terhadap kapasitas pemerintah di berbagai bidang, seperti ekonomi, hukum dan jaring pengaman sosial," ucap pria yang juga menjabat sebagai salah satu ketua DPP Partai Demokrat periode 2014-2019 ini.
Kegaduhan politik di tingkat elit kabinet dan parlemen secara langsung telah mengkikis harapan mereka akan adanya perbaikan dari ranah elit politik. Semua ini, kata dia, ibarat bom waktu yang bisa menghantar Indonesia ke ambang negara gagal.
"Gagal dari sisi ekonomi yang berujung pada gejolak politik," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mengendalikan krisis dan memberi signal positif ke masyarakat akan adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi.
"Tidak sebaliknya, jangan saling sibuk menyalahkan dan berlindung di balik kesulitan faktor global," ucap Kastorius.