Oleh: Harun Husein
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hal yang sama terjadi di Guen, Prefektur Mambere-Kadei. Pada Februari 2014, Anti Balaka menyerang, membunuh banyak Mus lim, dan menguasai kawasan tersebut. Adum Y, seorang petani, mengatakan ada tekanan sangat besar untuk berpindah agama.
Dia mengaku mengenal delapan orang yang telah murtad. Sebagian yang murtad adalah mualaf. Adum sendiri mengatakan dengan tegas, "Hanya ada satu Tuhan, jadi saya tidak akan pindah agama: Saya adalah seorang Muslim dan akan tetap menjadi Muslim."
Moussa J, juga dari Guen, berasal dari keluarga campuran. Ayahnya mualaf, ibunya masih penganut Kristen. Mereka sekeluarga melarikan diri ketika Anti Balaka tiba. Namun, pelarian dan persembunyian mere ka selama dua pekan terhenti. Mereka di kejar dan diringkus.
Dia mengatakan ketika Anti Balaka menyerang, sebanyak 70 orang tewas dibantai. Moussa bisa kembali ke kampungnya dengan selamat setelah se pupunya yang beragama Kristen berne gosiasi dengan milisi.
"Mereka tahu ibu saya adalah seorang Kristen dari etnis Gbaya. Mereka bilang 'kita tidak bisa membunuhnya'." Musa pun mem bayar 50 ribu CFA (sekitar Rp 1,2 juta) agar tidak dibunuh. Tapi, "Kami harus membayar lagi dan lagi. Akhirnya, kami tidak punya uang lagi."
Masih di Prefektur Mambere-Kadei, pemaksaan pindah agama juga dilaporkan terjadi di Desa Balego dan Desa Boyballe. Tapi, seperti yang terjadi dengan Moussa di Guen, jika ada uang, keislaman masih bisa dipertahankan, seperti dialami Hasan, 61 tahun, seorang warga Balego.
"Jika Anda menolak dibaptis, Anda harus membayar denda," kata Hasan yang tetap tinggal di Balego, kepada Amnesty Internasional.
Mualaf yang akhirnya menyerah dan menanggalkan keislamannya adalah Jean- Bosco N, seorang petani di Zalingo, Prefektur Lobaye. Dia menjadi Muslim sejak 1978. Tapi, karena takut pada Anti Balaka yang telah membunuh warga desa dan menghancurkan dua masjid, dia pun akhirnya bersedia dibaptis. Meski demikian, menurut Amnesty, ada pula warga Zalingo yang tetap kukuh dengan keislamannya, seperti seorang perempuan yang suaminya telah terbunuh.
Di Subprefektur Bambio, Prefektur Sang ha-Mbaere, sebuah kawasan perdagangan, mulanya ada 120 Muslim. Ketika Anti Balaka menyerang, hampir seluruh Muslim hengkang, kecuali tujuh orang bersaudara berusia 15-23 tahun. Mereka lahir di Afrika Tengah, begitu pun ayahnya. Namun, kakeknya dari garis ayah berasal dari Chad. Mereka bisa tetap tinggal karena ibu mereka masih menganut Katolik, begitu pun dengan sepupu mereka. Meski demikian, mereka dipaksa pindah agama.
"Kami tak punya pilihan kecuali masuk Katolik. Milisi Anti Balaka bersumpah mem bunuh kami jika kami tak melakukannya," kata sulung dari tujuh bersaudara itu. Dan, untuk membuktikan bahwa mereka telah pindah keyakinan, mereka dipaksa ke gereja setiap minggu. "Kami harus mengonfirmasi bahwa kami benar-benar Katolik."