REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Riuh rendah pasar Kota Madinah. Manusia-manusia tenggelam dalam jual beli. Matahari yang semakin meninggi tak menyurutkan aktivitas mereka. Saat itu, lewatlah Abu Hurairah. Sahabat Nabi itu menyaksikan para penduduk kota sibuk dengan perniagaan.
Abu Hurairah pun berseru, "Alangkah ruginya kalian, wahai penduduk Madinah!"
"Ada apa, wahai Abu Hurairah?"
"Warisan Rasulullah SAW sedang dibagi-bagi, mengapa kalian masih di sini? Mengapa kalian tidak pergi mengambil bagian kalian?" Para penduduk saling berpandangan. Mereka antusias mendengar kabar tersebut. "Di mana itu?" tanya mereka. Abu Hurairah menjawab, " Di masjid"
Mereka bergegas pergi ke masjid. Tetapi, alangkah kecewanya para penduduk Madinah. Mereka tidak menemukan apa pun di sana, kecuali orang yang tengah shalat, mengkaji Alquran, berzikir, dan duduk di majelis-majelis ilmu.
Orang-orang kembali ke pasar sambil melemparkan protes kepada Abu Hurairah. "Wahai Abu Hurairah, di mana harta warisan Rasul yang kamu katakan itu?"
Abu Hurairah bertanya, "Tidakkah kalian melihat ada orang di sana." Mereka menjawab, "Kami hanya melihat sekelompok orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan sekelompok lain sedang menyebutkan perkara halal- haram. Itu saja."
Abu Hurairah pun menjawab, "Sesungguhnya, itulah warisan Muhammad SAW."
Hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi menyebutkan, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa yang telah mengambil ilmu yang banyak, ia telah mengambil bagian yang banyak."
Kisah ini meneguhkan pentingnya ilmu dalam kehidupan seorang Muslim. Ulama, bukan umara, yang menjadi pewaris para Nabi. Allah SWT akan mengangkat kedudukan orang yang berilmu beberapa derajat di atas manusia lain. Walau, tak berarti Islam merendahkan kedudukan perniagaan atau harta dunia. Semua tetap mempunyai porsi masing-masing.