Rabu 16 Sep 2015 00:45 WIB

'Kontroversi Pelanggaran HAM 1965 karena Klaim Sejarah Sepihak Soeharto'

Keluarga korban tragedi 1965 dan penculikan aktivis prodemokrasi yang diwakili oleh Ruyati Darwin (tengah) bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (9/6).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Keluarga korban tragedi 1965 dan penculikan aktivis prodemokrasi yang diwakili oleh Ruyati Darwin (tengah) bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (9/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontroversi yang masih terjadi di masyarakat terkait kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 diakibatkan pemahaman sejarah sepihak oleh rezim Presiden Soeharto, kata Sejarawan Bonnie Triyana.

"Terjadi kontroversi karena pengetahuan kebanyakan warga Indonesia tentang pelanggaran HAM berat pada tahun 1965-1966 sepenuhnya hasil produksi Orde Baru yang dibuat demi kepentingan politik menggantikan pemerintahan Soekarno," ujar Bonnie usai acara diskusi di Cikini, Jakarta, Selasa (15/9).

Kontroversi-kontroversi ini jugalah yang membuat pengakuan akan adanya pelanggaran HAM berat tersebut belum pernah dilakukan secara resmi oleh pemerintah.

Padahal, lanjut pemimpin redaksi Majalah Historia ini, kejadian pada tahun 1965-1966 itu adalah pembantaian manusia terbesar setelah Perang Dunia II dan jumlah korbannya yang mencapai ratusan ribu orang, terbesar setelah korban pembantaian di kamp konsentrasi bentukan Partai Nazi Jerman di Auschwitz, Polandia.

Pemerintah Jerman sendiri, katanya, berhasil berdamai dengan masa lalu dengan membuka fakta pembantaian manusia oleh Nazi dan menjadikannya monumen sejarah yang tidak boleh diulang.

Contoh lain negara yang mengakui bahkan meminta maaf telah melakukan pembantaian adalah Australia. Pada tahun 2008, melalui Perdana Menteri saat itu, Kevin Rudd, pemerintah Australia secara resmi meminta maaf kepada penduduk asli benua Australia, suku Aborigin.

Pemerintah Negeri Kanguru saat itu meminta maaf karena telah melakukan kekerasan saat memaksa Aborigin untuk beradab sesuai cara Barat. Jadi, menurut Bonnie sudah seharunya pemerintah mengambil langkah yang sama dengan kedua negara tersebut.

Pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo, seperti yang termaktub dalam Nawa Cita, berkomitmen menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di eraOrde Baru, saat rezim Presiden Soeharto dan setelahnya.

Sejak tahun 2008, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.

Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kejadian tahun 1965-1966 termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM menyatakan sembilan dari 10 perbuatan di pasal 9 UU tersebut ditemukan dalam kasus 1965-1966.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement