REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo diminta berani untuk menolak kenaikan tunjangan anggota DPR yang telah disetujui Kementerian Keuangan. Tunjangan DPR akan naik sebesar 18 hingga 20 persen.
Menurut Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto tunjangan ini dapat dan harus dibatalkan oleh pemerintah. "Karena tunjangan ini diusulkan dengan cara diam-diam dan tidak transparan pada pembahasan APBNP 2015," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (18/9).
Dalam hitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), untuk anggota DPR biasa akan dapat take home pay sebesar Rp 57 juta. Sedangkan untuk wakil ketua alat kelengkapan atau komisi DPR Rp 59 juta, dan untuk ketua komisi dan alat kelengkapan mencapai Rp 60,5 juta.
Dia menilai ada kesengajaan menaikan tunjangan dari awal tanpa memperhatikan hasil kinerja DPR selama ini. Dalam hal ini, badan urusan rumah tangga (BURT) dan sekjen paling bertanggungjawab sebagai pengusul kenaikan gaji dan tunjangan.
Yenny menyebut, kinerja DPR masih rendah sehingga tidak pantas untuk menuntut kenaikan tunjangan. Jika tunjangan DPR akhirnya dinaikkan, maka akan menimbulkan parameter buruk bagi pemerintah yang ramai-ramai ikut menaikkan tunjangan. Publik mencurigai kenaikan ini sebagai bentuk tawaran transaksional agar fungsi pengawasan DPR lemah.
Presiden Jokowi, kata Yenny, secara tegas mengatakan malu dan menolak tunjangan pejabat dan DPR sehingga Menkeu sebagai pembantu presiden harus membatalkan kenaikan gaji untuk DPR. "Ini adalah bentuk implementasi ruh Nawacita Jokowi, yaitu penghematan dan efisiensi anggaran negara," kata dia.