REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah Indonesia perlu memiliki protokol tetap sebagai bentuk kesiapsiagaan mengantisipasi peristiwa penyanderaan di perbatasan dengan negara lain, seperti terjadi di wilayah Papua Nugini baru-baru ini.
"Pemerintah harus membuat protokol untuk menangani masalah seperti ini (penyanderaan). Sebab pergerakan masyarakat di perbatasan lebih bebas, bisa keluar masuk antarnegara dan itu dilindungi oleh resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa," ujar Hikmahanto di Jakarta, Jumat.
Jadi, ia melanjutkan, melarang pergerakan manusia di kawasan perbatasan sama saja dengan melanggar keputusan PBB
Peraturan ini pula yang bisa dimanfaatkan kelompok bersenjata untuk beraktivitas antarnegara. Karena itu, yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia saat ini adalah terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan jika peristiwa penawanan WNI terjadi di tapal batas.
Apalagi, lanjut dia, beberapa tempat seperti daerah perbatasan antara Papua dan Papua Nugini sangat luas.
"Tidak mungkin TNI bisa menjaga di tiap-tiap tempat," kata pria yang menamatkan pendidikan doktoralnya di University of Nottingham, Inggris ini.
Terkait penyanderaan dua WNI di Papua Nugini, Hikmahanto sendiri menganggap apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah benar dan sesuai jalur.
Pemerintah bertindak benar dengan menyerahkan semua tindakan terkait pembebasan sandera kepada pemerintah PNG sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara lain. "Tapi kalau diminta masuk, Indonesia harus siap," tutur Hikmahanto.
Sebelumnya, di wilayah perbatasan Indonesia-PNG pula, pada Rabu (9/9) terjadi penyanderaan dua warga negara Indonesia, Sudirman (28 tahun) dan Badar (30).
Pada hari ini, Jumat (18/9), kedua WNI tersebut berhasil dibebaskan oleh Tentara Papua Nugini ("Papua New Guinea Defence Force").
Ada pun saat diculik, mereka sedang mencari kayu di Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Kerom, Provinsi Papua, yang ditempuh selama tiga jam berjalan kaki dari Kampung Skoutio, Provinsi Sandaun, Papua Nugini, tempat mereka ditahan oleh kelompok bersenjata.
Menurut Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian, kelompok tersebut beroperasi di bawah pimpinan seseorang berinisial JP.