REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembakaran hutan yang membuat Sumatra, Kalimantan, dan negara-negara jiran diselimuti kabut asap ditengarai akibat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap sejumlah korporasi nakal.
Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan menuturkan, pembakaran hutan dan lahan kerap dipilih sebagai cara praktis untuk menambah luas lahan produktif.
"Kalau kita lihat semua, problem dari asap ini adalah trigger-nya ekonomi. Ini yang harus ditangani pemerintah," tegas Abetnego Tarigan saat diskusi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (18/9).
Aktivis lingkungan hidup ini melanjutkan, pihaknya mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang sudah menyerukan darurat asap. Namun, dia menekankan, pembakaran hutan dengan dalih kapitalistis sudah berlangsung puluhan tahun.
Maka pokok soalnya, lanjut dia, yakni mudahnya korporasi agrobisnis atau pembuatan kertas mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengolah hutan. "Ini situasi yang, menurut kami, (persoalan) izin sudah kacau balau. Harusnya (perizinan menjadi) instrumen untuk mengatur. Tapi yang terjadi sekarang ini, izin seperti komoditas (untuk diperjualbelikan)," papar Abetnego.
Dia mencontohkan satu provinsi paling terdampak, yakni Riau. Menurut dia, izin untuk perusahaan sawit itu sampai membuka penggarapan 6,8 juta hektar hutan. Adapun luas kawasan hutan di Riau sendiri, yakni sekitar 8,9 juta hektar.
"Taman nasional itu sekitar satu juta hektar. Artinya, (di) Riau itu lebih dari 70 persen sudah di bawah izin (menjadi bagian dari garapan korporasi) sebenarnya. Untuk rakyat, kecil. Sekitar 1-3 juta hektar saja," ungkap dia.
Menambahkan contoh lain, Abetnego menyebut di Kalimantan Barat saja pemerintah daerahnya sudah memberikan izin untuk perusahaan sawit membuka lahan seluas 5,6 juta hektar. Menurut dia, hampir semua korporasi sawit perambah hutan yang dilalap api, dimiliki negara-negara tetangga, termasuk Singapura.
"Kami mendesak pemerintah dalam konteks darurat asap, (soal perizinan) ini memang harus dibenahi, dalam jangka menengah dan panjang."