REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buntut konflik di Tolikara belum selesai, kini pihak korban tewas, Endi Wanimbo (15) maupun korban lain menuntut keadilan agar menindak tegas kasus ini secara hukum nasional, bukan hukum adat. Tokoh masyarakat Tolikara, Pandi Mur Yikwa yang juga merupakan anggota GIDI menyampaikan banyak unsur keterpaksaan jika kasus ini tetap diselesaikan secara hukum adat.
Endi, yang saat kejadian penyerangan ada di lokasi, menegaskan, kasus ini adalah konflik yang disetting oleh aktor intelektual karena faktor politik, bukan murni konflik agama. Dimana aktor intelektual tersebut menurutnya adalah Bupati Tolikara yang juga merupakan ketua pelaksana seminar dan KKR Internasional yang diadakan bertepatan dengan Idul Fitri 1436 H lalu.
Sementara yang dia maksud terdapat unsur keterpaksaan dalam penyelesaian kasus ini secara hukum adat adalah proses perdamaian antara kedua belah pihak. Dimana pihak korban menandatangani kesepakatan tersebut karena 'dipaksa' baik berupa ancaman maupun sogokan.
"Saya ini anggota GIDI, bupati juga anggota GIDI. GIDI itu hanya kelompok gereja umat Kristen saja. Sementara GID hanya dijadikan tameng untuk membuat konflik ini seolah-olah konflik agama, padahal ini adalah trik aktor intelektual tersebut untuk menutupi kasus korupsinya yang hampir terkuak," katanya usai pertemuan di kediaman KH Hasyim Muzadi, Depok, Sabtu (19/9).
Selain itu, dia juga menjelaskan berbagai hal yang terpaksa dilakukan umat Muslim di Tolikara seperti mengecat rumahnya dengan warna tertentu merupakan keterpaksaan karena mereka diancam akan diusir jika tidak melakukan hal tersebut. Dan masih banyak lagi keterpaksaan-keterpaksaan yang diterima warga Tolikara, yang bukan hanya Muslim saja namun semua agama.
Dia juga menceritakan sebagai saksi mata ketika malam hari sebelum penyerangan tersebut aktor intelektual itu mengumpulkan beberapa orang, termasuk dia untuk melakukan perencanaan penyerangan keesokan harinya. Orang-orang tersebut dipilih dari peserta seminar dan KKR internasional itu.