REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Jamaah An-Nadzir di Kampung Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan telah menunaikan ibadah Salat Idul Adha pada hari Selasa (22/9). Tanda-tanda alam menjadi patokan jamaah An-Nadzir dalam menentukan Hari Raya Idul Adha.
"Penentuan bulan bukan berdasarkan wangsit dan bukan hayal, tapi hasil pengamatan dan pengetahuan," ujar Pimpinan jamaah An Nadzir Ustadz Lukman Bakti di Gowa.
Penentuan waktu Salat Idul Adha itu dilakukannya sejak Senin, 21 September yang kemudian diumumkan kepada ratusan jamaahnya yang menetap di Kampung Mawang. Ia mengatakan untuk menentukan Dzulhijjah, maka harus menentukan akhir Dzulkhaedah. Jika mampu, maka pasti penentuan dzulhijjah akan benar.
Menurutnya, NASA merupakan lembaga antariksa pemantau luar angkasa telah menyebutkan, hilal pertama tidak akan sanggup dilihat mengunakan alat apapun.
"Jadi secara logika bila sudah melihat hilal, berarti itu bukan bulan pertama, tapi kedua. Kita mengamati bulan sudah berjalan hampir 20 tahun," katanya.
Disebutkannya, penentuan juga berdasarkan pengamatan yang dimulai dari bulan purnama. Setelah itu mulai menghitung 10 Dzulhijjah dengan melakukan pengamatan pergantian bulan dengan mengukur tinggi pasang air laut dan pengintaian bulan.
"Kalau ada yang tanya, mari sama-sama An Nadzir, meski tidak tercatat, tapi terpahat dalam hati," ucapnya.
Ustadz Lukman dalam kesempatan itu menjadi khatib dan imam Salat Id. Dalam ceramahnya, Ustadz Lukman memaparkan sejarah ibadah kurban yang dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim.
Usai salat, para jemaah yang menggunakan pakaian unik serba hitam dari penutup kepala hingga kaki bersalaman antarsesamanya.
Tahun-tahun sebelumnya setiap hari raya, baik Idul Fitri dan Idul Adha, jamaah memang sudah dikenal lebih dulu menggelar ibadah salat tersebut. Usai salat Id, jamaah An Nadzir kemudian melanjutkan dengan penyembelihan beberapa ekor sapi Qurban.