REPUBLIKA.CO.ID, TOLIKARA -- "Dengan mengucap bismillah, saya buka peresmian Masjid Khairul Ummah," demikian sepenggal kata, Menteri Sosial, Kofifah Indar Parawangsa, Rabu (23/9). Sudah dua kali ia mengunjungi Tolikara, dua kali pula ia melihat begitu cepat proses rekonsiliasi.
Hampir tiga bulan, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan bencana sosial, meminjam istilah Mensos, terjadi pada 17 Juli 2015, atau bertepatan dengan pelaksanaan Shalat Idul Fitri. Berbagai kalangan tak menyangka, begitu pula Kofifah.
Kini situasinya sudah berbeda. Masjid Baitul Mutaqqin yang terbakar digantikan bangunan baru semi-permanen berkapasita 300 jamaah. Bangunan baru diikuti nama baru. Nama masjid berubah nama menjadi Khairul Ummah.Kios yang luluhlantah sudah dibangung ulang.
"Perubahan nama ini menyiratkan pesan, umat terbaik. Pesan yang dahulu dipaparkan Gus Dur kepada masyarakat Indonesia," kata Kofifah.
Bila dikalkulasikan sudah tiga bulan proses rekonsiliasi berjalan. Hasilnya cukup menggembirakan. Interaksi kalangan Muslim dan Non-Muslim kembali hangat. Pada Shubuh pagi,masyarakat berbondong-bondong membersihkan masjid. Kemudian membawa sapi ke halaman di Utara Masjid.
"Ini luar biasa, sejak Shubuh, seluruh elemen masyarakat Tolikara datang membantu persiapan peresmian Masjid Khairul Ummah," kata Ustaz Fadhlan Gharamatan, Ketua Tim Komat Tolikara.
Sejak pagi pula, bantuan dari berbagai elemen berdatangan. Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) datang membawa lima ekor sapi. Belum lagi bantuan Pemerintah Kabupaten Tolikara, Pemerintah Provinsi Papua, lembaga kemanusiaan datang dengan niatan tulus membantu.
"Setelah pemotongan hewan kurban selesai, daging kurban ini akan dibagikan kepada kalangan Muslim dan Non-Muslim," kata Ustaz Fadhlan.
Proses ini mengingatkan cara mendarat pesawat perintis di lapangan terbang Karubaga yang lokasinya tak jauh dari masjid. Dengan kondisi lapangan yang curam 45 derajat, pesawat dengan kecepatan penuh mendarat. Lalu si pilot menurunkan kecepatan ketika roda menyentuh aspal. Pesawat menanjak dan kecepatannya perlahan berkurang dan berhenti sama sekali pada belokan bandara. Kira-kira begitulah analoginya, dari situasi panas dan diakhiri rekonsiliasi yang harmonis.
InsyaAllah, pada pelaksanaan Shalat Idul Adha akan lengkaplah rekonsiliasi di Tolikara. Bupati Tolikara, U G Wanimbo mengajak umat Kristiani menjaga pelaksanaan masjid. Ajakan ini begitu melegakan hati.
"Saya mengajak umat Kristiani menjaga shalat Idul Adha. Pada gilirannya nanti, umat Islam akan menjaga pelaksanaan Hari Besar Kristen," kata dia. Hal ini diperkuat dengan pesan Gubernur Papua yang secara khusus menyampaikan selamat Idul Adha kepada umat Islam di Indonesia dan Papua.
Pujian dan apresiasi juga perlu disematkan kepada umat Islam yang bekerja keras memuluskan upaya rekonsiliasi. Bahkan, umat Islam bahkan meminta penangguhan penahanan pelaku pembakaran. Namun, Bupati Tolikara Usman G Wanimbo menyatakan proses hukum dilanjutkan.
Proses yang demikian cepat ini kembali mengingatkan saya bagaimana akses menuju Tolikara. Dari Wamena, butuh empat perjalanan darat menuju Karubaga. Namun hanya sejam dengan menggunakan pesawat.
Cepat iya, tapi ongkosnya mahal yakni puluhan juta sekali terbang. Jalan yang harus dilalui demikian terjal dan berbatu. Hanya sebagian titik saja, yang berlapiskan aspal.
Kelak-kelok jalan Tolikara mempertegas kembali gambaran proses kehidupan beragama di wilayah tersebut. Sempat diuji bencana sosial pada 17 Juli lalu, kini berangsur kehidupan beragama bisa dikatakan pulih.
Jadi, kelak-kelok jalur menuju Tolikara diakhiri dengan pemandangan yang luar biasa dari deretan pegunungan Jayawijaya. Alam yang terjaga. Udara dingin menembus kulit. Kehangatan masyarakatnya melengkapi kesempurnaan yang diberikan Pencipta. Subhanallah