REPUBLIKA.CO.ID, Peristiwa itu terjadi begitu saja. Tiba-tiba air laut pasang menuju daratan, memasuki rumah-rumah penduduk, mencapai Jalan Energi di sepanjang Kelurahan Ampenan Selatan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ketinggian air mencapai satu meter. Orang-orang berhamburan keluar dari rumah menyelamatkan diri. Tepat pukul 09.00 Wita, tidak ada gempa atau angin kencang, daratan sudah terendam air laut yang pasang.
Orang-orang semakin penasaran. Mereka bertanya, mengapa di pagi yang tenang, air laut pasang bisa sampai merendam daratan. Meski sudah terendam, sebagian orang mendekati pesisir pantai Ampenan Selatan untuk memastikan apa yang terjadi. Padahal, jarak pemukiman yang terendam menuju bibir pantai relatif jauh.
Ikan-ikan dan belut pun ikut bermunculan. Orang-orang semakin senang, sebab peristiwa itu jarang sekali terjadi. Padahal, risiko bencana tsunami sudah di depan mata. Apalagi, Pemerintah Kota Mataram telah memberlakukan status tanggap darurat terhadap kejadian yang terjadi akhir 2012 lalu.
Alat pendeteksi tsunami yang ditanam di lautan Selat Lombok awal 2012, kurang sukses memberikan peringatan saat air laut pasang merendam daratan. Sebab, pendeteksi itu berfungsi dan menghasilkan bunyi alarm hingga 2 km jika terjadi gempa berkekuatan 7 SR lebih.
Sejak saat itu, orang-orang mulai mengerti perlahan. Sembilan km sepanjang wilayah pantai di Kota Mataram dari Jempong hingga Bintaro, merupakan zona merah bencana tsunami. Salah satu zona merah itu, Kelurahan Ampenan Selatan. Lokasi pemukiman yang mereka tinggali. Muncul kesadaran, orang-orang mulai belajar mengantisipasi dan pencegahan bencana.
Kesadaran terus ditingkatkan dengan pelatihan masyarakat di Kelurahan Ampenan Selatan. Khususnya nelayan di pesisir agar sadar bencana. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Mataram pernah memberikan pelatihan kepada dua kader peduli lingkungan dan kebencanaan di Bali beberapa tahun ke belakang.
Tidak hanya itu, Desa/Kelurahan Ampenan Selatan dengan total penduduk 17 ribu jiwa telah menjadi Kelurahan Tangguh Bencana. Berbagai atribut kebencanaan dipasang, salah satunya tanda jalur evakuasi disepanjang jalan apabila bencana terjadi.
Sudirman, Lurah Ampenan Selatan yang kala itu tengah berada di kantor terkejut dengan air laut yang pasang merendam daratan. Sebab, ia mengaku kejadian itu terjadi tiba-tiba tanpa didahului kejadian gempa atau angin kencang. Namun, hikmahnya peristiwa air laut pasang menjadi momentum pemetaan resiko bencana serta menetapkan kelurahan menjadi Kelurahan Tangguh Bencana.
“Ada sedikit bencana pada 2012, air laut pasang ke daratan. Seluruh Ampenan wilayah Selatan penuh air laut termasuk di kantor kelurahan hingga Jalan Energi," ujarnya kepada republika.co.id, saat ditemui di kantornya pekan lalu.
"Tidak ada korban jiwa hanya kerugian material pada kejadian itu yang terjadi selama tiga jam."
Usai ditetapkan sebagai Kelurahan Tangguh Bencana, ia menuturkan, BPBD NTB terus mengawal masyarakat di wilayah Ampenan Selatan untuk sadar bencana dan mengetahui tindakan pencegahan bencana. Salah satu kegiatan yang baru dilaksanakan adalah melatih 30 orang masyarakat dari berbagai kalangan untuk belajar tentang peta resiko bencana, pencegahan dan penanggulangan bencana.
Menurutnya, kesadaran terhadap potensi bencana merupakan upaya kehati-hatian masyarakat agar bisa melakukan antisipasi sebelum bencana itu terjadi. Apalagi, Ampenan Selatan dikategorikan sebagai zona merah tsunami.
“Potensi tsunami bisa terjadi tiap tahun. Hanya yang ada selama ini masih sebatas gelombang air laut pasang,” ungkapnya.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan BPBD kepada masyarakat dan juga penetapan kelurahan Ampenan Selatan sebagai Tangguh Bencana, Sudirman menilai membuahkan hasil. Warga lebih peduli terhadap kondisi musim, terutama musim gelombang air laut pasang. Banyak dari warga sekitar 100 orang yang berprofesi nelayan memilih tidak melaut, atau mereka yang berdagang di pesisir pantai tidak berjualan saat air laut pasang.
Perubahan perilaku masyarakat itu, menurutnya, terlihat tiap air laut pasang di bulan Juni-Juli. Warga banyak yang mendatangi kantor kelurahan untuk meminta arahan cara antisipasi air laut pasang. Biasanya, Sudirman mengatakan warga pesisir selalu bergotong royong menyiapkan karung berisi tanah untuk menahan air laut pasang.
Kini, jika akan terjadi air laut pasang maka warga segera mengantisipasi dengan pemahaman yang mereka ketahui hasil dari pelatihan kebencanaan. Situasi itu berbeda, tatkala warga belum mengetahui tentang kebencanaan.
Banyak dari mereka yang menganggap, jika tiap air air laut pasang maka akan terjadi hal membahayakan. “Kadang-kadang tiap musim air laut pasang selalu ada yang menjadi korban. Sekarang tidak pernah ada,” ungkapnya.
Lima kabupaten/kota di NTB disebut Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD NTB, Lalu Hardi Wijaya, rawan bencana tsunami. Salah satunya di Ampenan Selatan, Kota Mataram. Empat lainnya berada di Pantai Selatan, Lombok Tengah. Kabupaten Dompu dan kabupaten Bima serta Kabupaten Sumbawa Barat.
Karena itu, menurutnya, BPBD NTB membentuk Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Tiga desa tangguh sudah dibentuk. Sementara, 43 desa tangguh dibentuk oleh kabupaten.
Sekitar 30 orang di tiap desa/kelurahan ditetapkan sebagai komunitas tangguh bencana dikumpulkan untuk menjadi pionir. Mereka diharapkan mengajak warga untuk sadar bencana.
“Mereka diajari ilmu kebencanaan. Bagaimana cara melarikan diri dan mengamankan diri dan siapa yang harus didahulukan saat bencana terjadi. Persiapan antisipasi bencana seperti apa, termasuk jika terjadi bencana rob, gempa dan puting beliung,” katanya.
Ia menuturkan keberadaan anggota komunitas Desa/Kelurahan Tangguh Bencana berperan mengajak masyarakat untuk peduli terhadap bencana. Sebab, bencana sudah menjadi bagian dari lingkungan masyarakat.
Menurutnya, pembentukan komunitas tangguh bencana di Desa/Kelurahan Tangguh Bencana merupakan upaya penyadaran agar masyarakat sadar bencana. Apalagi, desa/kelurahan adalah wilayah yang paling merasakan dampak apabila terjadi bencana.
Ia mengaku terus melakukan evaluasi terhadap program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana serta kualitas individu masing-masing anggota. Masalah yang muncul, banyak anggota komunitas tangguh bencana yang mengundurkan diri, sehingga berkurang. Sebabnya, sebagian dari mereka ada yang lebih memilih untuk bekerja ke Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Hardi Wijaya berharap anggota komunitas Desa/Kelurahan Tangguh Bencana diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga, proses penyadaran terhadap masyarakat mengenai pencegahan bencana oleh anggota bisa terus berlangsung. Solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong program pemberdayaan ekonomi kepada anggota komunitas tangguh bencana.
“Tolong, kalau ada program (pemberdayaan) kementerian di sektor lain, bisa mendukung permodalan untuk ke 30 anggota komunitas tangguh bencana. Semisal program UMKM. Anggota harus didukung sehingga mereka bisa bertahan disitu,” ungkapnya.