REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harmonisasi RUU Kebudayaan di Badan Legislatif (Baleg) DPR berujung polemik. Belakangan, dalam Pasal 37 pada RUU tersebut justru muncul ayat yang mendukung klaim bahwa kretek merupakan warisan budaya bangsa.
Sekjen Nasional Komunitas Kretek, Alfa Gumilang mengaku pihaknya tidak tahu sebelumnya mengenai ayat kretek kecuali dari pemberitaan media massa.
Pihaknya tidak pernah mengusulkan ayat apa pun ke dalam draf RUU Kebudayaan. Sebab, lanjut dia, Komunitas Kretek hingga kini terus konsen ke pembahasan RUU Pertembakauan di DPR.
"Kita sendiri juga bingung, enggak tahu siapa yang mengajukan dan terus terang belum punya diskusi di internal untuk melihat ayat ini," kata Alfa Gumilang saat dihubungi, Jumat (25/9).
Namun, ia mengamini klaim bahwa kretek merupakan warisan budaya bangsa Indonesia sehingga patut diakui negara untuk dilestarikan. Alfa bahkan menghubungkannya dengan argumen, kretek berbeda daripada rokok.
Kretek, kata dia, mempunyai sejarah yang panjang antara lain sebagai bentuk perlawanan wong cilik terhadap penjajahan Belanda serta sikap feodalisme. Di samping bahwa secara riil, ada kandungan cengkeh dan rempah-rempah sebagainya di dalam kretek.
"Kretek ini kan suatu karya bangsa Indonesia yang dibuat sebagai salah satunya perlawanan ketika zaman penjajahan Belanda. Dulu yang merokok itu hanya orang Belanda atau bangsawan. Nah, kretek ini adalah entitas yang dibuat masyarakat kelas bawah," jelasnya.
Terkait dampak pemberlakuan ayat kretek di UU Kebudayaan nantinya, Alfa enggan mengomentari lebih lanjut. Menurutnya, hegemoni industri rokok memang sudah cukup lama berkuasa. Apalagi, kini hampir seluruh merek rokok dikuasai pemodal asing.
Sehingga, lanjut dia, pengakuan negara atas kretek melalui UU ditengarai tak akan berpengaruh besar bagi pertumbuhan industri komoditas zat adiktif itu. "Itu beda konteks, ya. Sebelum ada ayat ini (ayat kretek), gempuran industri asing untuk menguasai kretek Indonesia juga sudah ada," ucapnya.