REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa mengajak publik jangan berpersepsi yang negatif pada RUU Disabilitas yang saat ini sedang dibahas. Banyak pihak menuding isinya cenderung tidak pro pada kaum difabel. Misalnya, RUU Disabilitas yang baru tidak mencantumkan kuota kewajiban satu persen untuk penyandang difabel di perusahaan. Ini lalu menjadi polemik. Padahal, kata dia, pasal terkait itu sudah ada di UU No 4 Tahun 1997 Terkait Penyandang Cacat.
Ada juga yang mempermasalahkan terkait pengajar yang mesti berorientasi yang pada kaum difabel. Ini juga sudah tercantum pada aturan yang sama. "Ya namanya juga RUU. Semuanya itu kan masih belum final dan bisa berubah," ujar Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa saat dihubungi Senin (28/9).
Dia menyatakan proses pembahasan RUU ini pihaknya sudah delapan kali melakukan uji publik. Dimana pihaknya beserta DPR sudah mencoba mendengar masukan dan gagasan dari masyarakat umum. Sehingga jika ditilik dari prosesnya ini sudah dikategorikan ideal. "Nah semisal ada yang protes dan sebagainya ya tidak apa apa. Nanti masukan masukan yang ada akan kami dengarkan," jelasnya.
Sebelumnya Ketua Pokja RUU Disabilitas, Aryani menjelaskan, dari 268 pasal yang ada di RUU Disabilitas kini hanya menjadi 151 pasal. Pasal pasal substansif yang memperjuangkan hak difabel malah dihilangkan. Aryani merasa draf yang menjadi prioritas pengesahan DPR tahun ini malah bersifat umum dan tak ada bedanya dengan UU Penyadang Cacat yang sebelumnya.
Aryani menyebut salah satu pasal yang dihapus adalah terkait kuota satu persen bagi para pekerja difabel. Pasal tersebut dinilai penting namun malah dihapuskan dan diganti dengan kata kata umum seperti difabel berhak mendapatkan pekerjaan.
Kedua, pasal yang menyebutkan pengajar berkewajiban memberikan pelajaran yang inklusi dan akses terhadap siswa juga dihilangkan. Ketiga, banyak pasal yang hanya berbunyi 'Negara dapat..' ketimbang 'Negara Berkewajiban..'