Selasa 29 Sep 2015 14:13 WIB

Putusan MK Soal Izin Presiden Timbulkan Banyak Pertanyaan

Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menilai Putusan Mahkamah Konstitusi terkait penegak hukum jika ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin dari presiden, menimbulkan pertanyaan hukum.

"Harus diakui bahwa dengan putusan MK tersebut, ada beberapa pertanyaan hukum yang dapat ditimbulkan," katanya, Selasa (29/9).

Pertama menurut dia, MK telah merumuskan sebuah putusan yang tidak diminta oleh pemohonnya karena yang diminta adalah agar izin Mahkamah Kehormatan Dewan dihapuskan, namun bukan diganti menjadi izin presiden.

Kedua, dengan menetapkan izin presiden maka MK melebihi mandatnya sebagai negative legislator dan menjelmakan dirinya sebagai positive legislator.

"Itu seharusnya merupakan kewenangan DPR bersama Presiden," ujarnya.

Arsul mengatakan, pertanyaan hukum ketiga adalah menggeser izin dari MKD menjadi izin Presiden tidak menjawab persoalan konstitusionalitas norma Undang-Undang. Hal itu menurut dia, terkait dengan pemanggilan anggota DPR dalam proses hukum melalui izin MKD.

"Saya melihat dengan putusan itu, MK ingin menciptakan keseragaman prosedur pemanggilan pejabat lembaga tinggi negara yaitu dengan persetujuan presiden," ucapnya.

Dia menilai putusan MK itu tidak menambah kerjaan Presiden karena belum tentu banyak anggota DPR yang dipanggil oleh penegak hukum.

Sebelumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan penegak hukum jika ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin presiden.

"Mahkamah (MK) berpendapat, izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari Mahkamah Kehormatan Dewan," kata Wahiduddin Adams saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9).

Dia mengatakan, hal ini bukan sesuatu yang baru, karena pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum sebenarnya telah diatur dalam sejumlah UU, antara lain UU MK, UU BPK, dan UU MA.

Karena itu, menurut dia, MK menilai pemberian izin pemanggilan anggota Dewan dari MKD tidak tepat, karena bagian dari alat kelengkapan Dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

MK juga berpendapat, pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan karena anggota MKD merupakan bagian dari anggota Dewan itu sendiri.

Selain itu Wahiduddin mengatakan, putusan ini sebagai bentuk fungsi dan upaya membenarkan mekanisme check and balances antara legislatif dan eksekutif.

sumber : antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement