REPUBLIKA.CO.ID, PANGKALANBARU -- Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin menyatakan gerhana matahari bukan sebuah tanda bahwa kiamat sudah dekat tetapi murni fenomena alam yang bisa dikaji secara ilmiah.
"Gerhana matahari total itu adalah fenomena alam, bukan tanda kiamat sudah dekat dan bahkan fenomena alam seperti ini juga disebutkan dalam Alquran," kata Thomas Djamaluddin di Pangkalanbaru, Rabu (30/9).
Thomas mengemukakan itu menjawab pertanyaan peserta seminar gerhana matahari total di salah satu hotel berbintang di Kecamatan Pangkalbaru yang menanyakan apakah fenomena alam itu bertanda bumi sudah tua dan kiamat sudah dekat.
"Kalau umur bumi sekarang 4,5 miliar tahun, ini tergolong muda dari planet lain dan tidak ada hubungan atau keterkaitan dengan kiamat sudah dekat," ujar Thomas.
Ia juga menegaskan, gerhana matahari total jangan pernah dikaitkan dengan mitos dan mesti disikapi secara rasional dan ilmiah. "Terkadang sering gerhana matahari ini dihubungkan dengan mitos, bahkan di Jawa fenomena gerhana dulu dikatakan karena di makan raksasa sehingga masyarakat menjadi takut dan bersembunyi saat terjadi gerhana," ujarnya.
Menurut dia, edukasi tentang gerhana matahari perlu disampaikan secara benar untuk menghindari anggapan mitos.
"Dulu ada pembodohan soal gerhana, bahkan saat itu, setiap ada lubang atau celah di dinding rumah ditutup dan sembunyi di kolong meja, sedangkan orang luar negeri rela membayar jauh-jauh hanya untuk melihat gerhana matahari," ujarnya.
Sementara tenaga? Lab Bumi dan Antariksa Departemen Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, Judhistira Aria Utama mengatakan pancaran? sinar matahari sama dengan 400 triliun bola lampu 100 watt.
"Ketika melihat gerhana matahari harus berhati-hati, karena sinar matahari bisa merusak kornea mata dan merusak respon visual sel kornea mata karena pancaran cahaya matahari setara dengan 400 triliun bola lampu 100 watt yang dinyalakan secara serentak," ujarnya.