Kamis 01 Oct 2015 22:21 WIB
Pilkada 2015

Penderita Gangguan Jiwa tak Boleh Ikut Pilkada, Eksponen Sipil Protes

Rep: C05/ Red: Ilham
Penderita gangguan jiwa, asyik tertidur di sebuah halte.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Penderita gangguan jiwa, asyik tertidur di sebuah halte.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksponen sipil ramai memprotes keberadaan pasal 57 ayat 3 UU No 8 Tahun 2015. Dimana isinya melarang penderita gangguan jiwa untuk ikut memilih dalam Pilkada.

Peneliti Perludem, Fadli Rahmadhanil mengaku heran dengan pasal tersebut. Sebab jika dibandingkan aturan UU lainnya pada pemilu presiden, penderita gangguan jiwa diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya. Acuannya yakni UU No 42 Tahun 2008 dan UU No 8 Tahun 2012.

"Nah tiba-tiba ada Perppu Perubahan No 1 tahun 2015 bagi UU No 8 tahun 2015. Ini bagi saya simbol inkonsistensi pemerintah," ujarnya di Gedung LBH Jakarta, Kamis (1/10).

Dia akan mengajukan judicial review agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal yang ada. Dirinya juga meminta MK mengeluarkan putusan provisi agar KPU menunda terkait pendataan DPT sampai ada kepastian penderita gangguan jiwa tetap bisa memilih.

Sementara itu, kordinator Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti menyatakan, pelarangan pada penderita gangguan jiwa untuk memilih dalam Pilkada adalah bentuk diskriminasi. Sebab penderita gangguan jiwa sebenarnya masi bisa sembuh. Asal ada kontrol sosial dan juga penggunaan obat obatan.

"Jadi tak tepat menganggap gangguan jiwa itu permanen. Apalagi gangguan jiwa juga memiliki klasifikasi yang banyak," jelasnya. Sehingga, ungkapnya, tak semua penderita gangguan jiwa tak bisa berpikir.

Hal senada juga disampaikan oleh Dokter Kesehatan Jiwa, dr Irmansyah Spkj. Dia menyatakan kategorisasi gangguan jiwa tak homogen satu jenis. Namun terdiri dari banyak tipe gangguan jiwa. Ada yang berkategori berat, namun ada juga yang berkategori ringan.

"Kalau yang ringan itu masih bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sedangkan untuk yang berat dalam beberapa kasus ada yang bisa, tapi ada juga yang tak bisa membedakan," jelasnya.

Meski seperti itu, ungkapnya, gangguan jiwa sifatnya tak permanen. Yakni masih bisa sembuh jika diterapi dan diberikan obat-obatan. "Saya tak sepakat dengan penghilangan hak memilih pilkada bagi penderita gangguan jiwa. Ini seakan akan simbol menganggap mereka sakit permanen dan tak punya kemampuan berpikir," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement