Jumat 02 Oct 2015 05:12 WIB
Salim Kancil

Tiga Babak Tragis Pembantaian Salim Kancil

Rep: Andi Nurroni/ Red: Angga Indrawan
KTP milik Salim Kancil.
Foto: Republika/Andi Nurroni
KTP milik Salim Kancil.

Oleh: Andi Nurroni

Reporter Republika.co.id

Salim (46 tahun) tiba di rumahnya sekitar pukul 04.00 pagi. Lelaki kurus berkumis itu pulang menghadiri rapat persiapan aksi penolakan tambang di rumah salah seorang kawannya. Ketukan di pintu membangunkan anak bungsunya, Dio (13). Bocah itu memang biasa tidur beralas tikar di tengah rumah. 

Sambil merebahkan diri beristirahat, lelaki yang akrab disapa Kancil itu berujar pada sang anak yang masih setengah mengantuk. “Lek, dino iki ndak usah sekolah. Engko melok bapak ae,” ujar Salim. Ia meminta anaknya tidak usah pergi sekolah karena hendak membawanya ikut demonstrasi menyegel tambang pasir.

Bocah penurut itu pun menetujui permintaan bapaknya. Setelah keduanya sarapan, sekitar pukul 07.15, ayah-beranak itu bersiap bergabung dengan warga lain untuk mengeluarkan eskavator tambang dari kawasan pesisir Watu Pecak. Selepas Tijah (40), sang istri, pergi mendorong sepedanya untuk mencari rumput pakan ternak, Salim beranjak.

Saat itulah tiba-tiba sekitar 40-an orang bersepeda motor menyerbu ke halaman rumahnya. Tanpa banyak bicara, beberapa orang turun dan mencengkram tangan salim di kanan dan di kiri. Salah seorang dari mereka mencekiknya sembari menodong-nodongankan telunjuk di wajahnya. Dia memaki-maki dengan mata terbelalak.  

Satu-dua bogem mentah ia terima di wajah. Pukulan lebih keras menghantam pelipisnya. Pukulan beserta batu yang terakhir itu menyobek kulit dahinya. Darah segar mengalir. 

 

klik untuk kisah selanjutnya: Teriakan Salim tak Didengar

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement