REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai, putusan MK yang memperbolehkan daerah dengan calon tunggal mengikuti pemilihan kepala daerah tidak solutif jika tidak berlaku surut. Sebab, jika tidak berlaku surut, maka putusan MK tidak membatalkan penundaan pilkada di tiga daerah dengan calon tunggal.
Menurut Zainal, bisa saja putusan MK bisa berlaku surut. Namun ia tidak tahu MK memutuskan dengan cara apa, karena jika diputus surut, hal itu akan berguna untuk pilkada calon tunggal. ''Kalau MK putuskan berlaku ke depan, ya artinya tidak solutif, tidak selesaikan problem yang kita tahu," kata Zainal, Jumat (2/10).
Zainal mencontohkan, kondisi yang memungkinkan putusan MK berlaku surut atau memengaruhi tindakan hukum yang dilakukan sebelum putusan itu terbit, yaitu putusan yang berkaitan dengan pengujian pasal hukuman mati.
"Misalnya gini, ada orang dihukum mati, dia uji pasal hukuman mati. MK batalkan. Kalau tidak berlaku surut ya percuma, dia tetap dihukum mati," ujarnya.
Mengenai putusan MK yang mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom setuju dan tidak setuju, Zainal mengungkapkan mekanisme ini akan menyisakan permasalahan baru saat pelaksanaannya.
Ia menilai, mekanisme pemilihan dengan kolom setuju atau tidak setuju seperti yang ditetapkan MK tersebut memerlukan pembahasan lebih jauh. Karena mekanisme pemilihan semacam itu tidak diatur detil dalam undang-undang. Apalagi jika dalam putusannya MK tidak mengatur detil mekanisme pemilihan tersebut.
Untuk itu, Zainal mengimbau pemerintah bersama dengan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawasan Pemilihan Umum, DPR, dan pihak terkait lainnya, untuk berembuk membahas mekanisme Pilkada untuk calon tunggal ini.
Zainal mengatakan, metode bumbung kosong lebih sederhana dibandingkan dengan mekanisme seperti referendum tersebut. Ia berharap MK tidak lakukan terobosan dengan referendum, seperti lawan kotak kosong. ''Bisa saja dibuat mekanismenya tapi MK sudah katakan itu, referendum, kelihatan populis tapi masalah besar itu soal mekanisme," jelasnya.
Sebelumnya, MK memutuskan referendum warga bagi pilkada yang hanya diikuti oleh satu calon. Pemilih mencoblos 'Setuju' atau 'Tidak Setuju' terhadap calon tersebut.MK menilai, jika pilkada harus ditunda ke pilkada selanjutnya hanya karena kurangnya calon, maka hak konstitusional rakyat untuk bisa memilih dan dipilih tidak terpenuhi. Hal tersebut disampaikan dalam persidangan di MK, Selasa (29/9).