REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina telah memenangkan tender proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Namun, menurut pakar pembangunan infrastruktur ITB Harun al-Rasyid Lubis, pemerintah RI terkesan tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai proyek kereta api cepat tersebut.
Pemerintah cenderung berfokus pada soal pembiayaan, bukan visi besar semisal bagaimana teknologi itu nantinya dibangun dan dioperasikan. Belum lagi soal alih transfer teknologi.
Soal yang terkesan diutamakan ialah syarat-syarat kepada negara-negara pengaju proposal. Bahwa APBN Indonesia tak tersedot untuk proyek kereta api cepat, RI mendapat pinjaman tanpa jaminan, dan skema business to business.
Maka begitu Cina menyatakan sanggup memenuhi ketiga syarat itu, pemerintah Indonesia langsung memilihnya. Harun mengaku tidak melihat adanya standar yang ditentukan terlebih dahulu oleh Indonesia. "Pemerintah Indonesia belum punya gambaran yang jelas maunya bagaimana. Jadi, diberikan proposal beragam, ya pasti bingung dong," kata Harun al-Rasyid di Menteng, Jakarta, Sabtu (3/10).
Apalagi, jelas dia, infrastruktur semisal jalur kereta api dalam jangka panjang akan dikembalikan sebagai milik negara, meskipun dalam pembangunannya menggunakan pembiayaan asing 100 persen.
Itu terjadi setelah pihak-pihak konsorsium mendapatkan masa konsensi dan masa menikmati dalam kurun waktu yang telah disepakati sebelumnya. Menurut Harun, Kementerian BUMN dalam hal ini mesti lebih transparan agar publik bisa ikut memperhitungkan.
"Kan harus memperkirakan sebagai pemilik jangka panjang. Karena, ini skemanya akan dimiliki terus enggak sama konsorsium? Apa ini, misalnya, setelah 100 tahun balik ke negara? Ini kan juga kita belum tahu," papar Ketua Infrastructure Partnership Knowledge Center ini.
Harun juga mengamati, Cina cenderung agresif dalam mewujudkan visinya, "One Belt, One Road" di kawasan Asia. Untuk region ASEAN, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, menurut Harun, dapat menjadi awal.
Hal itu terjadi lantaran Cina belakangan ini cukup digdaya dalam mendanai proyek-proyek berpengaruh di luar negerinya. Dulu, kata Harun, lembaga keuangan dari Dunia Barat semisal World Bank, Asia Development Bank, dan IMF masih menguasai sektor pembiayaan infrastruktur di negara-negara berkembang. Namun kini, sudah memasuki era Kebangkitan Asia. Sehingga, lanjut Harun, Indonesia pun suka-tidak-suka pasti terkena imbasnya.
"Dengan adanya dananya, tentunya dia (Cina) mau ikut bermain juga. Enggak mau diatur. Yang mau ikut, silakan. Yang enggak mau ikut, silakan. Saya pikir sih wajar saja. Bisnis."
"Tapi masalah dikuasai atau enggak dikuasai kan tergantung kita," sambung dia.