REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama peneliti bidang pendidikan lainnya melakukan penelitian. Hasilnya, pemetaan mengenai masalah pokok yang berkaitan dengan guru.
Salah satu hasil pemetaan itu, Ketua Badan Pekerja ICW, Ade Irawan mengungkapkan, politisasi guru merupakan salah satu masalah. “Salah satunya menjadi bahan politisasi,” ujar Ade saat memperingati hari guru dunia di Jakarta, Senin (5/10).
Ade menjelaskan, guru kerapkali dijadikan sebagai objek untuk kepentingan politik terutama di daerah. Mereka selalu dimanfaatkan sebagai ‘mesin pemenangan’ calon kepala daerah di Pemilukada.
Menurut Ade, pihak ICW telah menemukan kondisi tersebut di wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten. Para guru di wilayah itu seringkali dijadikan ‘pembuangan’ bagi pegawai negeri yang tidak mendukung pemenang pemilih.
Agar situasi ini tidak terjadi, ICW menyarankan agar pemerintah bisa mengantisipasinya. Terutama, lanjut dia, menjelang Pilkada serentak nanti. Pemerintah diharapkan bisa membuat surat edaran kepada daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilihan agar tidak melibatkan guru dalam proses kampanye.
Ade juga berpendapat, mereka juga perlu membuat mekanisme pengaduan bagi guru-guru yang dipaksa untuk terlibat dalam proses pemenangan. Ini juga bisa menjadi tempat pengaduan untuk guru yang dikorbankan pasca-pemilu.
Penasehat Persatuan Guru Swasta Indonesia, Suparman, politisasi guru memang bukan suatu hal yang baru didengar. Ia mencontohkan, para guru yang bisa naik pangkat seperti bekerja di dinas pendidikan apabila berhasil memenangkan calon kepala daerah. Jika tidak, tambah dia, mereka bisa kehilangan jabatannya.
Suparman menjelaskan alasan mengapa para calon kepala daerah memanfaatkan guru. Pertama, mereka berjalan di aspek yang cukup ‘seksi’, yakni pendidikan. Mereka juga mudah ‘dibawa’ karena sistemnya birokratis. Selain itu, guru juga menjadi tokoh masyarakat yang mudah mengambil hati masyarakat.