REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III heran dengan petisi yang dikeluarkan akademisi untuk menghentikan kasus komisioner KPK. Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman mengatakan, seharusnya akademisi mengikuti sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.
“Jangan menjebak Presiden untuk melakukan pelanggaran hukum,” kata Benny di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (5/10).
Benny menambahkan, yang harus dilakukan akademisi bukan mencampuri sistem hukum yang berlaku. Melainkan, melakukan pengawasan terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan. Menurut politikus Partai Demokrat ini, kalau hakim di pengadilan memutuskan tidak terbukti maka komisioner KPK dapat bebas demi hukum.
Namun, jika kejaksaan melihat kasus ini memang tidak layak untuk diproses, ada mekanisme yang sudah ada, yaitu bisa menghentikan kasus. Jadi, sambungnya, penghentian kasus sudah biasa, tidak perlu meminta Presiden intervensi proses hukum.
Menurut Benny, walaupun Indonesia menganut sistem presidensial, presiden dilarang mengintervensi proses penegakan hukum. Menurutnya, akademisi jangan sampai merusak sistem ketatanegaraan yang sudah ada di Indonesia.
Seharusnya, kalau akademisi melihat proses hukum ini tidak sesuai kaidahnya, dapat melalui instrumen hukum yang sudah ada. Yaitu, praperadilan dengan tidak mengambil alih fungsi kepolisian, kejaksaan, dan hakim. "Jangan paksa Presiden mengambil alih kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum.
Presiden Joko Widodo akan mempertimbangkaan adanya usul diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus Bambang Widjojanto. Usulan SP3 kasus BW dinilai usulan baik.
"Masukan yang baik, nanti saya pertimbangkan," kata Presiden Jokowi saat melakukan kunjungan kerja ke Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (3/10).
Presiden menegaskan, akan sangat mempertimbangkan masukan itu. Sebelumnya, puluhan akademisi bidang hukum dan nonhukum menyimpulkan, tidak ada cukup alasan secara hukum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara Bambang Widjojanto hingga ke pengadilan.