REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial (KY) Danang Widjayanto mengemukakan bahwa para hakim juga mengeluhkan pers yang pemberitaannya juga dapat melecehkan martabat dan kehormatannya. "Tapi, para hakim itu juga takut menegur langsung karena khawatir diberitakan lebih jelek lagi, sehingga mereka mengadu ke KY," katanya dalam workshop 'Contempt of Court' (CoC) di Surabaya, Rabu (7/10).
Dalam workshop yang diadakan KY bersama LBH Surabaya di Universitas Hang Tuah Surabaya, 6-8 Oktober 2015, ia menjelaskan pihaknya menerima rata-rata 3 ribuan pengaduan dalam setahun. "Pengaduan itu umumnya memang terkait putusan dan nonputusan seperti narkoba, selingkuh, judi, dan berkelahi, namun ada juga hakim yang mengadu ke KY terkait pelecehan oleh masyarakat, termasuk pers," katanya.
Menurut dia, 'CoC' (tindakan merendahkan kewibawaan, martabat, dan kehormatan hakim/peradilan) yang dilakukan pers itu bisa terkait putusan seperti intervensi putusan dan juga nonputusan seperti wawancara yang merugikan. "Misalnya, pernyataan dalam sebuah stasiun televisi tentang hakim agung Gayus Lumbuun yang menerima suap Rp 700 juta melalui transfer, padahal transfer sebanyak itu tidak ada, melainkan kliring," katanya.
Atau, peradilan anak-anak yang tertutup, tapi pers tetap berusaha 'mencuri' gambar lewat celah-celah pintu atau jendela. "Kadang juga wartawan mewawancarai narasumber yang belum baca putusan, tapi pernyataannya cukup vokal, padahal pers itu seharusnya berimbang atau 'cover both side', yakni pihak kalah dan menang sama-sama diwawancarai," katanya.
Karena itu, KY saat ini tidak hanya fokus pada pengawasan hakim nakal, karena hal itu dirasa tidak cukup, melainkan KY juga mulai fokus pada advokasi hakim yakni pembinaan atau pelatihan, kesejahteraan, dan pembelaan. "Untuk pembelaan itu pun tidak hanya represif, seperti PN diserang, rumah hakim ditembak, hakim dicaci, dan sebagainya, namun juga pembelaan preventif, seperti 'judicial education' atau pencerahan untuk masyarakat dan pers," katanya.