REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Trauma anak-anak yang menyaksikan langsung drama kekerasan pembunuhan petani penolak tambang pasir, Salim Kancil, perlu mendapatkan perhatian serius pihak-pihak yang berwenang.
Pengalaman traumatik yang pernah mereka alami bisa menggangu kehidupan sosial anak-anak tersebut dan masa depan mereka.
Helmi (5) misalnya, cucu Salim Kancil yang bersekolah di taman kanak-kanak (TK), begitu saja menggambar adegan kekerasan yang dialami sang Kakek.
Bocah itu memang sempat menyaksikan kakeknya terbaring di tanah dan kepala kakeknya dihantam mata cangkul dan dipukul batu di halaman rumah tetangga Salim ketika dihajar para preman.
"Anak-anak kan disuruh gambar bebas. Gambar Hilmi memang enggak jelas, corat-coret, tapi pas ditanya gurunya, semua anak kan ditanya, 'ini siapa?' 'Kakek', 'ini apa yang panjang?' 'Pacul', 'ini yang bulat-bulat?' 'Batu'," ujar Ike Nurila, ibu Helmi, menirukan dialog antara sang guru TK dengan anaknya, Kamis (8/10).
Keesokan harinya, menurut Ike, Helmi menggambar adegan itu lagi. Lalu pada hari ketiga, menurut Ike, Helmi menggambar ambulan. Gambar itu, menurut Ike, kemungkinan mengacu pada suasana ketika jenazah kakeknya datang diantar ambulan ke rumah.
Menurut Ike, guru TK tidak tahu kalau Helmi ikut menyaksikan ketika kakeknya disiksa para preman. Begitu tahu Helmi menyaksikan adegan kakeknya disiksa, menurut Ike, gurunya tidak lagi meminta Helmi menggambar.
"Gurunya sampai menangis," ujar Ike kepada Republika.co.id di rumah almarhum Salim Kancil.
Ketika kakeknya dipukul cangkul, menurut Ike, selain Hilmi, ada juga anak lainnya yang sedang bermain bersama Hilmi, yaitu bocah bernama Gilang (5).
Gilang, kata Ike, juga sekolah di TK yang sama dengan Hilmi. Hal yang mengejutkan, kata Ike, Gilang juga menggambar adegan yang sama. "Padahal mereka duduknya berjauhan," ucapnya.
Selain Hilmi dan Gilang, anak Salim Kancil, Dio (13) juga harus berjuang melawan trauma. Sejak Senin, bocah kelas 5 SD itu mulai sekolah lagi.
Namun di sekolah, perasaannya duka juga rawan terusik karena kehadiran Iva (12) anak sang Kepala Desa yang kini ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan ayahnya. Iva sendiri adalah siswi kelas 6 di sekolah yang sama.
"Aku sih enggak apa-apa. Enggak boleh dendam," ujarnya berbicara didampingi kaknya, Ike.
Menurut Ike, Dio memang pernah mendapatkan konseling dari psikolog Polda Jawa Timur. Dio sendiri menyebut, salah satu yang dipesankan sang psikolog adalah sikap "tidak boleh dendam".
Sesi konseling itu, menurut Ike, hanya dilakukan satu kali. Ike berharap, lebih baik kalau anak-anak terus mendapatkan perhatian dan bimbingan berkala dari psikolog.
Penyembuhan trauma anak-anak memang butuh waktu, serta kerjasama semua pihak. Guru-guru di sekolah, termasuk sekolah Dio, seyogyanya juga dikondisikan untuk mendukung proses penyembuhan trauma sang anak.
Sayang, berdasarkan cerita Dio, guru-guru di sekolahnya justru belum berperan optimal mendukung penyembuhan trauma tersebut. Menurut cerita Dio, dia beberapa kali dipanggil ke kantor.
Di sana, kata Dio, guru-guru bergiliran satu per satu mintanya menceritakan drama penyiksaan terhadap sang ayah, seperi yang pernah ia saksikan.