REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Tetapi, hingga saat ini kekerasan seksual terhadap anak masih marak terjadi di Indonesia.
Pengurus Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) mengecam seluruh bentuk kekerasan terhadap anak, baik itu secara fisik, psikis, dan seksual. Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini meminta semua elemen masyarakat untuk bergerak dan menyelesaikan masalah bersama-sama, mulai dari pemerintah, LSM hingga ormas.
“Negara wajib hadir untuk bersikap tegas dalam melindungi warganya. Negara bersama dengan komponen bangsa yang lain mencari jalan dan strategi yang kuat untuk mengurangi angka kasus kekerasan seksual terhadap anak. Aparat harus memberikan hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku agar memberikan efek jera,” kata Anggia saat konferensi pers di PBNU, Jakarta Pusat (8/10).
Peristiwa terbaru, pembunuhan biadab yang dibarengi dengan kekerasan seksual terhadap PNF (9 tahun) di Kalideres, Jakarta Barat. Sebelumnya, publik dibuat gempar dengan kejadian pencabulan di Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta Internasional School (JIS) dan pencabulan di Sukabumi (Emon) serta pembunuhan Engeline di Bali dan kasus penelantaran 3 anak oleh orang tuanya di Cibubur.
Berdasarkan data lembaga perlindungan anak di 179 kota/kabupaten dan 34 provinsi di Indonesia pada kurun 2010-2014, tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah itu, 58 persen dikategorikan sebagai kejahatan seksual. Sisanya berupa kekerasan fisik, penelantaran, dan lainnya.
Data Polri 2014, mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di separuh tahun 2014. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang.
“Jumlah yang sangat besar dengan beragam jenis kekerasan telah menimpa anak-anak Indonesia yang seharusnya dilindungi tidak hanya oleh orang tua, masyarakat tapi juga oleh negara. Ini fenomena gunung es, dalam arti masih banyak kasus–kasus kekerasan lainnya yang tidak atau belum terungkap ke publik,” ujar Anggia.
Selain pentingnya peran negara, Fatayat NU menyarankan, media massa harus memposisikan diri dan berperan sebagai media transformasi pengetahuan dan kesadaran publik yang menyajikan informasi dan tayangan yang mendidik.
Fatayat NU, menurut dia, melalui Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (LKP3A) yang tersebar di seluruh Indonesia juga siap memberikan layanan advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Ini komitmen Fatayat untuk membangun bangsa Indonesia yang ramah anak.”