Sabtu 10 Oct 2015 18:45 WIB

Perbankan Islam Nasional Hadapi Sejumlah Tantangan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Julkifli Marbun
 Teller melakukan aktifitas di kantor Bank Syariah Bukopin, Jakarta, Selasa (6/10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Teller melakukan aktifitas di kantor Bank Syariah Bukopin, Jakarta, Selasa (6/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan Islam di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan mulai dari pangsa pasar hingga inovasi produk.

Direktur Pasca Sarjana STIE Ahmad Dahlan Fathurrahman Djamil mengatakan, pangsa pasar perbankan syariah Indonesia belum sampai lima persen. Sebab, saat aset perbankan Islam naik, aset perbankan konvensional juga naik sehingga berkejaran.

"Jika 25 persen dana BUMN di Malaysia ditempatkan di perbankan Islam, penempatan dana pemerintah kita di bank Islam kecil sekali. Dana haji pun baru belakangan ini saja," kata Fathurrahman dalam seminar komparasi perbankan Islam di Indonesia di STIE Ahmad Dahlan, Sabtu (10/10).

Pemahaman SDM industri  terhadap perbankan syariah ia nilai juga belum komprehensif.

Dulu ekonomi, kata Fathurrahman, program studi ekonomi syariah ada di bawah Kementerian Agama. Ia bersyukur sekarang sudah di bawah Direktorat Pendidikan Tinggi.

Buku acuan ekonomi syariah di Indonesia pun masih kuhurang. Belum ada pula kurikulum ekonomi syariah yang sesuai kebutuhan industri.

"Ini sudah kami bicarakan dengan industri, sehingga nanti SDM yang ada punya kemahiran praktikal juga, tidak hanya teori," kata dia.

Pekerja di sektor keuangan Islam masih sedikit walau kebutuhan besar, lebih dari 30 ribu orang. Fathurrahman mengatakan OJK sedang menyiapkan sistem sertifikasi TAS (tenaga ahli syariah) yang diharapkan bisa diterima dimanapun karena sertifikasi mereka internasional.

Inovasi produk perbankan Islam juga dinilai masih kurang. Perbankan Islam di Indonesia masih mempakai produk konvensonal dengan menghilangkan unsur haramnya. Sehingga produk perbankan Islam jadi mirip dengan konvensional.

Kontrak produk-produk di bank-bank Islam di Indonesia didominasi murabahah, sementara musyarakah dan mudharabah masih kecil. Ia menilai ini bisa jadi karena struktur murabahah mirip konvensional.

Pinjaman dana kebajikan (qardul hasan) di Indonesia juga masih di bawah 10 persen. Ia melihat qardul hasal belum jadi inti bisnis bank.

Perbankan Islam, pada intinya adalah bank investasi. Tapi di negara-negara berkembang, banyak bank Islam yang ke sana. Sebab idealnya, keuangan berjalan seiring dengan sektor riil.

Fathurrahman mengapresiasi langkah OJK mengizinkan office channeling layanan syariah di kantor-kantor induk bank-bank.Islam dan berjalannya program layanan keuangan nir-kantor untuk keuangan inklusif (Laku.Pandai).

"Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Penempatan dana pemerintah di bank-bank Islam.jadi hal penting," ungkap Fathurrahman.

Berkembangnya pengunaan instrumen keuangan Islam bahkan di negara yang ideologinya non Islam menunjukkan ekonomi syariah bisa diterima siapa saja. "Semoga Indonesia keluar dari sistem yang abu-abu," kata dia.

Data OJK menunjukkan, NPF perbankan Islam di Indonesia turun tipis menjadi 4,73 persen dari 4,87 persen pada Januari 2015. FDR juga naik menjadi 96,52 persen dari 93,60 persen per Januari 2015.

Dana pihak ke tiga agregat mencapai Rp 215,339 triliun per Juni 2015, meningkat dari Rp 210.,761 triliun per Januari 2015. Begitu juga dengan pembiayaan Rp 203, 894 triliun per Juni 2015, meningkat dari Rp 197,279 triliun per Januari 2015.

Sementara kecukupan modal (CAR) tergerus menjadi 14,09 persen dari 14,16 persen di awal 2015. BOPO juga terdorong menjadi 94,22 persen per Juni 2015 dari 92,54 persen per Januari 2015.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement