REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki memulai tiga hari berkabung setelah dua ledakan di sebuah aksi damai di ibu kota Ankara, Sabtu (10/10). Serangan paling mematikan di Turki itu menewaskan sedikitnya 95 orang. Serangan tersebut membuat 245 orang terluka dengan 48 di antaranya dalam kondisi serius.
Tayangan televisi menunjukkan kepanikan dan orang-orang tergeletak di tanah bersimbah darah. Kejadian tersebut terjadi di tengah spanduk protes. Pemerintah menyebut ledakan sebuah aksi teroris dan dengan marah menolak tuduhan bahwa itu adalah kesalahan.
Pada Sabtu malam, Presiden Amerika Serikat Barack Obama berbicara dengan Pesiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Gedung Putih mengatakan, Obama menyampaikan secara pribadi belasungkawa bagi korban tewas dan terluka dalam serangan keji itu.
Ledakan terjadi di dekat stasiun kereta api di pusat kota. Di sana, orang berkumpul untuk demo yang diselenggarakan oleh kelompok sayap kiri. Demo tersebut menuntut diakhirinya kekerasan antara militan separatis Kurdi PKK dan pemerintah Turki.
Dua ledakan terjadi sesaat setelah pukul 10 waktu setempat d tengah banyak orang berkumpul. Rekaman video amatir menunjukkan sekelompok anak muda memegang tangan dan bernyanyi sebelum ledakan pertama.
Saksi mata menjelaskan kemarahan di antara kerumunan yang ditujukan terhadap polisi setelah ledakan. "Polsi menggunakan gas air mata, bom meledak dan tidak membiarkan ambulans melintas," kata salah satu peserta pada demo tersebut kepada BBC New, Ahad (11/10).
Perdana Menteri Ahmet Davutoglu mengatakan ada bukti yang menyatakan dua pembom bunuh diri telah melakukan serangan. Serangan ini membatalkan rencana kunjungan Erdogan ke Turkmenistan.
Pemimpin HDP pro-Kurdi, Selahettin Demirtas menyalahkan negara atas serangan tersebut. Ia juga telah membatalkan semua kampanye pemilunya.