REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah dinilai belum maksimal menangani kabut asap yang terjadi di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Bahkan, dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebanyak 13 orang yang meninggal akibat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan dua orang lainnya meninggal karena terhalang jarak pandang.
“Bagi kami upaya pemerintah dalam menangani kabut asap belum maksimal. Kenapa? Karena sampai sekarang kabut asap dan titik titik api masih ada,” ujar Manager of Disaster Management Walhi Mukri Friatna dalam rilisnya kepada Republika.co.id, Ahad (11/10).
Dari catatannya, secara keseluruhan sudah ada 15 orang meninggal tersebar di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Barat (Kalbar).
Mukri menegaskan bahwa penanganan terhadap kebakaran hutan dan lahan selalu dilakukan dengan pendekatan yang sama, dari tahun ketahun yakni bersifat reaksioner dengan memadamkan api, tanpa mau melihat akar persoalan yang menyebabkan bencana asap itu terus terjadi.
“Dari tahun ke tahun hanya itu yang dilakukan pemerintah, meski pemerintahan telah berganti,” kata Mukri.
Selain itu, menurut Mukri, dalam melakukan penanganan antar departemen tidak pernah terintegrasi. Padahal, seluruh departeman dan para penanggungjawab dari masalah ini harus turun ke lapangan.
“Misalnya, bagaimana dengan Kementerian Kesehatan, apa yang bisa mereka lakukan dengan para korban asap itu. Begitu juga Kementerian Sosial dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan lainnya, harusnya bersinergi,” papar dia.
Pada pelaksanaannya tidak demikian, karena reaksinya sesaat dan spontanitas. “Kanalisasi contohnya. Itu baru dilakukan setelah presiden turun ke lapangan. Tidak ada perencanaan yang matang. Tindakannya adalah spontan di lapangan, ” terang dia.
Kemudian, selama ini pemerintah juga tidak pernah mau menyentuh korporasi sebagai aktor yang harus bertanggungjawab, dengan mereview dan mencabut izin perusahaan, khususnya yang secara berulang ditemukan titik kebakaran api di wilayah konsesinya.