Senin 12 Oct 2015 12:12 WIB

Bajaj Gas, Sedikit Polusi dan tidak Berisik

Penumpang bajaj biru turun di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (18/8).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Penumpang bajaj biru turun di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (18/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR Meta Novia/Erik Purnama Putra

Siang itu begitu terik, matahari tepat berada di atas kepala. Meski begitu, beberapa sopir bajaj biru alias bajaj gas tidak surut untuk mencari penumpang di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Ketika Republika.co.id belum lama ini, mendatangi sopir bajaj yang tengah ngetem, mereka mengaku sudah bekerja sejak pagi mengantar penumpang.

Dengan mengenakan kaus putih lusuh, Agus Priyanto mengisahkan alasannya lebih memilih menjadi sopir bajaj biru ketimbang bajaj bermesin dua tak yang identik dengan warga oranye. Menurut dia, banyak enaknya menyopiri bajaj dengan bahan bakar gas bumi terkompresi produk Perusahaan Gas Negeri (PGN) itu. "Kalau pakai gas itu lebih hemat dari pada pakai bensin," kata pria berusia 24 tahun ini.

Pria bertubuh kecil tersebut membandingkan pengeluarannya antara bajaj biru dengan oranye. Kalau memakai bensin berdasarkan pengalamannya, untuk mengoperasikan bajaj seharian penuh membutuhkan tujuh liter. Padahal, saat ini harga bensin cukup mahal di angka Rp 7.400 per liter. Dari hitung-hitungannya, berarti sehari pengeluarannya bisa mencapai Rp 51.800.

"Kalau memakai gas hanya beli Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu sudah bisa digunakan untuk narik bajaj seharian. Makanya kalau pakai gas jauh lebih hemat," kata Agus seraya tersenyum.

Dia mengungkapkan, setoran untuk bajaj biru memang lebih mahal daripada bajaj oranye yang menggunakan bensin plus campur oli. Bisa jadi, lantaran lebih irit bahan bakarnya membuat setorannya per hari mencapai Rp 150 ribu.

Kalau lagi ramai penumpang, ia mengaku bisa mendapatkan penghasilan Rp 300 ribu per hari. Namun, kalau sedang sepi, bisa mengumpulkan Rp 200 ribu per hari juga sudah terbilang bagus. "Rata-rata setoran Rp 150 ribu, pendapatan per hari Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu," ujarnya. "Pakai bajaj gas enaknya juga tak berisik kalau sedang jalan. Jadinya sopir dan penumpang bisa ngobrol."

Meski merasakan banyak manfaat dengan menggunakan gas, namun ia tidak memungkiri kadang masih memakai bensin. Bukan bermaksud ingin boros, hal itu lantaran ia terdesak waktu. Paling sering ia mengisi bahan bakar di stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) Gambir. Menurut Agus, kalau harus mengisi gas kadang antreannya ketika puncak bisa puluhan bajaj.

"Tak enaknya pakai gas itu ngantrenya lama, bisa dua jam di depan SPBU." Kondisi itu membuatnya kadang kadang malas harus lama-lama antre, sehingga memutuskan membeli bensin saja. Agus juga sering mengisi gas untuk bajajnya di SPBU Rawa Mangun atau Pesing. "Kalau datang subuh-subuh pun, sudah banyak bajaj yang ngantre untuk mengisi gas," cetusnya.

Atas dasar itu, Agus menyarankan agar jumlah SPBG diperbanyak, sebab tak semua stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) menjual gas bumi. "Kalau mengantre lama, kasian sopir-sopir bajaj belum narik sudah capek duluan," katanya.

Nanang yang sudah 20 tahun menjadi sopir bajaj dan baru tiga tahun belakangan ini beralih mengemudikan bajaj biru berbagi pengalamannya terkait pekerjaan yang digelutinya. Menurut dia, yang paling membedakan tentu saja asap knalpot yang tidak berbau dan polusi udara yang dihasilkan tidak sebanyak bajaj oranye.

Belum lagi, kata dia, suara tarikannya mulus. "Kelebihan pakai bajaj gas itu lebih murah dan hemat. Suara (knalpot) juga tak berisik dibandingkan bajaj yang pakai bensin plus oli campur," kata pria berkaus biru itu.

Pria berusia 50 tahun itu menyatakan, setoran bajaj biru memang lebih banyak sekitar Rp 130 ribu per hari. Dengan mengantar beberapa penumpang, sehari ia bisa meraih Rp 200 ribu untuk dimasukkan ke kantongnya.

Meski penghasilan tak banyak, Nanang mengaku tetap akan menarik bajaj sampai kapan pun. Itu lantaran ia meyakini banyak kalangan yang masih membutuhkan keberadaan bajaj. "Saya tetap akan narik terus sebab selalu ada penumpang, seperti anak sekolah, pegawai, orang lagi jalan tiba-tiba menyetop ingin naik bajaj," katanya.

Dia memiliki pesan kepada pemerintah untuk bisa memperbanyak tempat pengisian gas. Kalau SPBG lokasinya semudah SPBU maka hal itu bisa menguntungkan sopir bajaj. Dengan waktu tunggu yang semakin singkat, ia dan rekan-rekannya bisa memiliki waktu lebih untuk mencari penumpang.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak memungkiri, keberadaan bajaj biru memberikan manfaat lebih bagi Pemprov DKI Jakarta dalam upaya menekan pencemaran lingkungan. Menurut Ahok, bajaj biru memiliki keunggulan menghasilkan gas buang lebih besar daripada bajaj bermesin dua tak.

Karena itu, ia mendorong pemilik bajaj oranye untuk berpindah menggunakan bajaj yang menggunakan bahan bakar gas bumi tersebut supaya jumlahnya lebih banyak di jalanan. Ahok optimistis, kehadiran bajaj tidak malah membuat kemacetan bertambah, melainkan ikut membantu mobilisasi penumpang lantaran termasuk transportasi massal.

"Sudah kita batasi jumlah bajajnya, hanya 14 ribu unit. Dari jumlah tersebut, baru 7 ribu unit saja yang sudah menggunakan bahan bakar gas atau bajaj biru. Kita mau bajaj bermesin dua tak diganti. Makanya, nanti semua bajaj kita dorong pelan-pelan supaya berpindah ke gas," ujar Ahok.

Sementara itu, Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Hendi Prio Santoso mengatakan, sopir bajaj yang termasuk pelanggan setia produk yang dihasilkan perusahaannya mendapat manfaat lebih. Dia membandingkan, PGN menjual gas alam dengan harga Rp 3.100 per setara liter premium. Adapun, harga premium saat ini dipatok Rp 7.300 per liter.

Dengan asumsi tersebut, ia menyatakan, sopir bajaj bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 80 ribu per hari. "Kobagas adalah salah satu contoh konkret pengguna gas bumi yang mendapatkan banyak manfaat. Dengan menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar, para sopir bajaj bisa menghemat biaya sekitar Rp 60 sampai Rp 80 ribu per hari," kata Hendi merujuk komunitas sopir bajaj biru pengguna gas bumi (Kobagas).

Hendi meyatakan, Indonesia memiliki jumlah produksi gas bumi yang banyak. Termasuk dengan cadangan gas yang masih berlimpah. Bila saja, semua sektor transportasi bisa beralih menggunakan gas ketimbang BBM lainnya, ia yakin bakal bisa membantu menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Belum lagi, dampak lingkungan yang lebih bersih dipastikan akan tercipta. "Penggunaan gas bumi terbukti lebih ramah lingkungan, efisien, dan aman," kata Hendi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement