REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin khawatir komisioner dan pegawai KPK bisa terjerumus pada praktik transaksional bila lembaga antirasuah itu memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"Saya khawatir kewenangan menerbitkan SP3 bisa menjerumuskan KPK dalam praktik transaksional seperti diduga terjadi di lembaga lain. KPK harus dilindungi dari praktik haram semacam itu," kata Said Salahudin di Jakarta, Ahad (11/10).
Said mengatakan kewenangan menerbitkan SP3 bukan merupakan satu- satunya solusi bila alasan pemberian kewenangan itu dalam revisi Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang KPK itu untuk mengantisipasi kekeliruan yang mungkin dilakukan lembaga tersebut dalam menangani suatu kasus korupsi.
Menurut Said, saat ini sudah terbUka ruang koreksi apabila terjadi kekeliruan dalam proses hukum yang dilakukan KPK, misalnya melalui mekanisme praperadilan. "Karena itu, saya ingin mengingatkan kepada para pembuat undang-undang, khususnya Presiden (Jokowi,red)yang menjadi inisiator awal revisi Undang-Undang KPK agar jangan sampai revisi tersebut menjadi kebablasan," tuturnya.
Said mengatakan setiap ruang yang berpotensi menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang ingin melemahkan KPK harus ditutup. Agenda revisi Undang-Undang KPK, menurut dia, jangan sampai menjadi "bola liar" yang dapat dijadikan momentum pihak-pihak tertentu untuk mempreteli kewenangan KPK.
"Jangan sampai revisi Undang-Undang KPK membuat KPK menjadi lembaga difabel," ujarnya.
Said mengatakan Undang-Undang KPK sebenarnya belum mendesak untuk direvisi. Namun, bila pemegang kekuasaan pemegang undang-undang berkeputusan untuk merevisi Undang-Undang tersebut, maka harus memperhatikan dua hal.
Dua prinsip itu adalah materi muatan undang-undang yang hendak direvisi harus dipastikan terbatas pada pasal-pasal yang memang perlu penyesuaian berdasarkan kebutuhan serta penambahan, pengurangan dan perbaikan norma harus dipastikan tidak untuk melemahkan KPK.