REPUBLIKA.CO.ID,Pemprov DKI Selalu Terlambat dalam Penyerahan RAPBD, Mengapa?
JAKARTA -- Terlambatnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama melakukan penyerahan dan pembahasan APBD, serta dokumen Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) telah melanggar ayat 1 UU Mo 17 tahun 20013 tentang Keuangan Negara. Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Syamsuddn Alimsyah mengatakan, pemerintah daerah harus menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan RAPBD sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan. "Namun menjelang pertengahan Oktober ini, Pemrov belum juga menyerahkan dokumen KUA untuk dibahas," ujar Syamsuddin dalam siaran persnya, Senin (12/10).
Meski keterlambatan penyerahan ini menjadi tanggungjawab besar pada Pemrov DKI, namun bukan berarti DPRD lepas dari tanggungjawab. Sebaliknya, dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan, DPRD sejatinya proaktif mengontrol pemerintah untuk taat azas. Menurut Syamsuddin, DPRD seharusnya proaktif terus mengingatkan bahkan menegur pemrov bila abai dengan tupoksinya.
"DPRD harusnya proaktif menanyakan kepada Gubernur, baik itu lisan bahkan dengan persuratan resmi melalui Pimpinan DPRD penyebab keterlambatan ini. Dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, keterlambatan APBD bisa diajukan hak interplasi dan angket," ujarnya.
Dia menduga ada empat kemungkinan sehingga DPRD bungkam terhadap keterlambatan ini. Pertama, DPRD secara sengaja melakukan pembiaran karena ada maksud yang tersembunyi. Syamsuddin mengatakan, publik harus sadar dengan terlambatnya pembahasan APBD, maka ruang untuk negosiasi dan penitipan proyek-proyek dalam APBD akan terbuka lebar. Pasalnya, akses dan ruang publik untuk terlibat mengkritis APBD terbatas bahkan tertutup sehingga prilaku korupsi akan terbuka lebar.
Kedua, DPRD boleh jadi tidak paham siklus anggaran, termasuk kalender anggaran itu sendiri. Hanya saja ini kecil kemungkinan bila melihat latar belakang para wakil rakyat di DPRD DKI yang rata-rata kualifikasi pendidikannya memadai. Apalagi selama ini terdapat alokasi anggaran dalam APBD untuk program Bimtek bagi DPRD.
Ketiga, atau kemungkinan anggota DPRD mengalami sindrom. "Seolah takut berhadapan sama Gubernur Ahok, apalagi sikap tegas Ahok selama ini gencar membuka borok oknum anggota DPRD," ujarnya.
Keempat, Pemrov tidak memiliki kapasitas memadai mendesain penganggaran daerahnya untuk merespons kebutuhan yang sangat kompleksitas.
Syamsuddin berharap dugaan-dugaan tersebut di atas tidak benar adanya. Namun untuk membuktikannya, ia mengatakan, DPRD harus memperbaiki kinerjanya dengan menjalankan fungsinya secara optimal sesuai dengan mandat konstitusi, cek and balance bagi Pemerintah. "Bukan sebaliknya bersikap diam sehingga publik akan terus berpersepsi negatif terhadap DPRD dengan menilai seolah antara ada dan tiada. Ada dalam absensi tapi tidak ada dalam fungsinya," ujar Syamsuddin.
Berdasarkan catatan Kopel, belajar dari sejarah pembahasan dan penetapan APBD, DKI Jakarta adalah juaranya daerah yang paling sering terlambat. APBD 2013 yang harusnya ditetapkan di bulan November 2012, baru berhasil ditetapkan pada 28 Januari 2013. APBD 2014 ditetapkan pada 22 Januari 2014, dan yang paling parah adalah APBD 2015 gagal ditetapkan sehingga harus menggunakan APBD 2014 dengan melalui Peraturan Gubernur (Pergub).