REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Victoria Securities Indonesia (VSI) mengecam tindakan Kejaksaan Agung yang menyita kembali barang bukti tanpa ada izin dari pengadilan. Padahal barang bukti itu sudah dikembalikan.
Jaksa yang mendatangi kantor VSI berdalih hendak melakukan eksekusi Putusan Praperadilan No.81/Pid.Prap/2015/PN.JKT.SEL tanggal 20 September 2015 yang salah satu amarnya adalah memerintahkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mengembalikan barang-barang yang sudah disita secara tidak sah pada tanggal 12, 13, 14, dan 18 Agustus 2015.
Pengacara PT VSI, R Primadita Wirasandi, Selasa (12/10), mengatakan, "Setelah kami mempersilahkan jaksa-jaksa tersebut masuk untuk menyerahkan barang-barang yang telah disita, ternyata barulah kami sadari bahwa dalih tersebut hanyalah alasan dari jaksa-jaksa untuk melakukan tindakan penyitaan ulang terhadap barang-barang tersebut, tanpa menyertakan surat izin dari pengadilan negeri setempat."
Primadita juga mengecam tindakan jaksa tersebut karena memaksa kliennya ikut menyaksikan penyitaan tanpa izin serta meminta menandatangani berita acara penyitaan. "Kami PT Victoria Securities Indonesia menolak karena merasa bahwa penyitaan tersebut adalah penyitaan liar dan tidak berdasar," kata Primadita.
Ia mengatakan, meski menolak menandatangani, namun jaksa tetap memaksa PT VSI meneken berita acara penolakan. "Kami menolak menandatangani," sebutnya.
Menurut Primadita, tindakan Kejakgung merupakan tindakan yang sewenang-wenang, arogan dan melanggar hak asasi. Padahal, PT VSI bukanlah terlapor dan bukan tersangka dalam perkara yang sedang disidik Kejakgung, tetapi justru kantor PT VSI yang digeledah, barang-barangnya disita dan orang-orangnya diperiksa.
Ia menilai, tindakan dari Kejakgung yang memaksa untuk menyita kembali barang-barang mereka tanpa surat izin dari pengadilan negeri adalah upaya mempermainkan putusan praperadilan. Tindakan itu juga dinilai Primadita sebagai upaya membangun opini seolah-olah tindakan yang dilakukan jaksa (penggeledahan dan penyitaan pada 12, 13, 14 dan 18 Agustus 2015) adalah tindakan yang benar.
Padahal, masih kata Primadita, jelas-jelas telah diputus pengadilan tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak sah dan melawan hukum. "Kami menegaskan bahwa tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh jaksa-jaksa dari Kejaksaan Agung ini adalah tindakan yang mencoreng kredibilitas institusi kejaksaan dan merusak tatanan hukum di Indonesia," tegasnya.
Ia mengingatkan, jika ingin menegakkan revolusi mental, maka Presiden Jokowi harus menindak kejaksaan yang telah berbuat sewenang-wenang. "Jika ingin mewujudkan visi revolusi mental maka seharusnya dimulai dari merevolusi mental-mental penegak hukum yang seperti ini, yang tidak mau mengakui kesalahan mereka dan justru mengulang lagi kesalahan yang sama," katanya mengakhiri.