Rabu 14 Oct 2015 05:30 WIB
Insiden Aceh Singkil

Bentrok di Singkil, GMKI Minta Kepala BIN dan Kapolda Aceh Dicopot

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Bilal Ramadhan
Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) Sutiyoso bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/9).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN) Sutiyoso bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Ayub Manuel Pongrekun mengatakan, menyikapi pembakaran gereja di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) 2014-2016 menyayangkan terjadinya kembali tindakan intoleransi di Desa Suka Makmur.

Sebelumnya terjadi peristiwa memilukan di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015 di samping berbagai tindakan intoleransi yang terjadi juga selama tahun 2015 di seluruh Indonesia.

"Oleh karena itu, GMKI Meminta agar Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso, Kapolda Aceh,  Irjen Pol Husein Hamidi, dan Kapolres AKBP Budi Samekto untuk dicopot dari jabatan mereka. Sebab mereka jelas-jelas tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga peristiwa bentrokan warga dan pembakaran gereja terjadi," katanya  dalam siaran pers yang disampaikan GMKI, Senin, (13/10).

Kealpaan aparat keamanan ini menunjukkan bahwa negara benar-benar absen di dalam melakukan pengamanan masyarakat. Seharusnya BIN mampu mengantisipasi ancaman bentrokan mengingat peristiwa ini tidak muncul tiba-tiba.

Aksi protes terkait keberadaan gereja di Aceh Singkil sudah mulai mencuat sejak 6 Oktober 2015. Namun aparat malah mengabaikannya. Selain itu, GMKI juga meminta agar Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo segera mengevaluasi kerja Bupati Aceh Singkil, Safriadi dan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dalam mengelola keberagaman yang ada di Aceh.

Perjanjian damai yang dibuat tahun 1979 yang dikuatkan lagi di musyawarah antar warga pada 2001 tentang pembatasan rumah ibadat umat Kristen maksimal hanya boleh berdiri  satu gereja dan empat undung-undung (rumah ibadah kecil).

Provinsi Aceh juga memiliki Peraturan Gubernur nomor 25 tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah yang lebih diskriminatif dari Peraturan Bersama Menteri tentang pendirian Rumah Ibadah. "Peraturan seperti itu sudah selayaknya dihapuskan dari Indonesia yang beragam ini," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement