REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menargetkan paling tidak dalam 10 tahun kedepan akan ada 100 juta orang kader bela negara.
Namun, program yang dicanangkan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, ini masih menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat.
Ketua SETARA Institute, Hendardi menilai program ini tidak kontekstual dengan kebutuhan berbangsa dan bernegara untuk meningkatkan kualitas kewarganegaraan.
Menurutnya kebutuhan mutakhir bela negara bukanlah dengan menghimpun manusia untuk baris-berbaris.
''Tapi meningkatkan competitive advantage warga negara untuk bangga menjadi Indonesia dan membela bangsanya dengan menjadi manusia berkualitas,'' katanya kepada Republika.co.id, Rabu (14/11).
Tidak hanya itu, Hendardi menilai, secara finansial, APBN tidak akan mampu mencukupi program bela negara ini. Terlebih dengan besarnya target capaian kader bela negara yang ditetapkan oleh Kemenhan.
Selain itu, pendidikan bela negara bukanlah proyek satu kementerian, namu merupakn strategi pendidikan dalam sebuah sistem pendidikan nasional.
"Rencana itu keluar dari mandat konstitusi yang mendorong pendidikan bela negara diintegrasian dalam setiap pendidikan warga,'' ujarnya.
Begitu juga dengan argumentasi dari gagasan dibentuknya program bela negara. Menurut Hendardi, berbagai persoalan kebangsaan yang ada justru berakar pada sistem pendidikan yang belum mampu menciptakan warga negara yang paripurna. Selain itu, ketiadaan teladan dari pemimpin sipil yang baik juga mendorong penurunan semangat bela negara.
''Saat ini minimnya teladan elit politik yang ingkar pada sumpah jabatan yang diucapkannya untuk membela bangsa dan negara juga turut andil,'' katanya lagi.