REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mendesak negara memfasilitasi pengurusan izin mendirikan gereja untuk menghindari gesekan antarkelompok seperti yang terjadi pada 13 Oktober di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.
"Proses pengurusan izin tidak selamanya mudah. Meski persyaratan sudah dipenuhi, terkadang tidak juga bisa disahkan karena ada faktor lain," ujar Kepala Humas PGI Jerry Sumampouw dalam konferensi pers di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (14/10).
Faktor lain yang dimaksud Jerry adalah dugaan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu sehingga pemerintah cenderung tidak mengurus perizinannya.
PGI sendiri menganggap penting izin pendirian gereja dan selalu mengimbau agar seluruh gereja memilikinya. "Kami tidak mau gereja berdiri tanpa izin," kata Jerry.
Terkait peristiwa di Aceh Singkil, PGI mengakui gereja yang dibakar tidak memiliki izin. Menurut Jerry, ada 24 gereja, bukan cuma 21 bangunan seperti yang banyak diberitakan, tidak berizin ada di Aceh. PGI pun meminta bantuan dari Komnas HAM untuk mengurus perizinannya.
"Pemerintah pusat seharusnya bisa mendorong pemerintah daerah untuk segera mengeluarkan izin. Jangan menunggu peristiwa seperti di Aceh Singkil terulang baru mulai bergerak," kata Jerry.
Pada 13 Oktober 2015 terjadi bentrokan yang menewaskan seorang warga dan melukai empat lainnya serta pembakaran gereja di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil. Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menyatakan akar masalah dari peristiwa itu adalah penertiban rumah ibadah, dalam hal ini gereja, yang dianggap tak memiliki izin.
Sementara sebanyak 20 orang ditangkap akibat peristiwa tersebut. Akibat kejadian itu, Polda Sumatera Utara mencatat ada 4.409 warga Kabupaten Aceh Singkil yang mengungsi ke dua kabupaten di Sumut yakni Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat.