REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembakaran gereja di Aceh Singkil karena masalah izin pendirian rumah ibadah, dinilai sebagian kalangan telah menjadi sumber konflik di wilayah tersebut. Forum Masyarakat Sipil untuk Perdamaian Aceh atau Aceh Peace Forum mengungkapkan Aceh Singkil memang mebutuhkan konsesus baru dalam perizinan rumah Ibadah.
Kordinator Aceh Peace Forum, Juanda Djamal mengatakan konsesus baru pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil tersebut, sebagai solusi agar ada kepastian dalam pendirian rumah ibadah. "Selama ini aturan yang ada dinilai belum menjawab perubahan struktur sosial yang ada di Aceh Singkil, sehingga butuh konsensus baru," ujarnya kepada wartawan, Kamis (15/10).
Ia mengungkapkan, di Aceh Singkil memang tingkat perpindahan penduduk dari provinsi Sumatera Utara cukup tinggi. Itu dikarenakan wilayah ini memang perbatasan dengan Sumatera Utara. Dan diketahui memang sebagian penduduk dari Sumatera Utara menganut Kristen. Jadi kebutuhan untuk rumah ibadah gereja juga meningkat jadi perlu aturan baru.
Menurut dia, sebenarnya tugas pemerintah lokal dan provinsi agar mengatur lebih bijak agar gereja tetap berdiri menjamin fasilitas ibadah, namun tetap tertib tanpa harus muncul gereja-gereja kecil ilegal yang kemudian memunculkan permasalahan di tengah masyarakat. "Ini yang masih lemah di pemerintah daerah mengatur ini, sehingga tumbuhlah gereja-gereja yang tanpa legalitas seperti di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah kemarin," tambanya.
Ia juga berharap pemerintah tidak menjadikan kasus di Aceh Singkil ini komoditas politik yang justru akan memperpanjang benih-benih konflik. Biarlah bentrokan di Aceh Singkil ini diselesaikan secara bijak dari Forum Kerukunan Umat Beragama di Aceh Singkul, dan tentunya pihak-pihak yang terbukti bersalah harus dihukum agar tidak terulang kembali.