REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Para pegiat komunitas sastra di India jengah. Intoleransi semakin meningkat, sementara pemerintahan Modi memilih senyap. Menggugat kondisi itu, Rabu (14/10), 41 sastrawan mengembalikan penghargaan yang mereka terima dari akademi sastra bergengsi di India.
“Selama satu tahun terakhir, suasana di negara bagian India telah demikian menyesakkan dan sangat tidak toleran. Pemerintah sekarang berani, bahkan secara kelembagaan mendukung kebencian komunal ini,” ungkap Ghulam Nabi Khayal, seorang penulis Kashmiri yang mengembalikan penghargaan, dilansir dari Arab News, Kamis (15/10).
Sebanyak 41 orang itu meliputi novelis, penulis esai, dramawan, dan penyair. Para penulis menyatakan tidak bisa tetap menjadi penonton bisu atas berbagai insiden kekerasan komunal, serangan terhadap kaum intelektual, dan pembatasan kebebasan bersuara.
Mereka memprotes tumbuhnya iklim intoleransi di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.
Ketika Modi menang telak pada Mei 2014, banyak orang telah menyuarakan kekhawatiran atas pergerakan sayap kanan nasionalis Hindu, yang mungkin memicu kekerasan komunal dan intoleransi agama. Namun, Modi meyakinkan ia akan menjadi perdana menteri bagi semua golongan.
Faktanya, setahun terakhir,tingkat kekerasan komunal meningkat hingga menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat minoritas India. Pemerintah yang dikuasai partai sayap kanan BJP melarang penyembelihan sapi dan kerbau. Bulan lalu, seorang pria Muslim di utara India bahkan dibunuh lantaran diduga mengonsumsi daging sapi.
Sikap itu diawali oleh penulis terkenal India, Nayantara Sahgal yang mengembalikan penghargaannya kepada akademi. Sahgal adalah keponakan perdana menteri pertama India, Jawaharlal Nehru. Ia dikenal sebagai penulis politik yang independen.
Mengacu pada kekerasan akhir-akhir ini oleh kelompok Hindu, Sahgal mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar The Indian Express, ada upaya memunculkan kembali gagasan mengenai India yang mengacu kepada agama Hindu, padahal tidak ada hubungannya dengan Hindu.
Pandangan Sahgal ini digaungkan ke berbagai komunitas sastra.
Pemerintah Modi menanggapi aksi ini dengan keras. Mereka mempertanyakan motif para penulis dan menuduh mereka memiliki motif politik. “Jika mereka mengatakan mereka tidak mampu menulis, biarkan mereka berhenti menulis,” kata Menteri Kebudayaan Mahesh Sharma.