REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta memberi perhatian lebih pada bayi yang menjadi korban bencana asap, terutama dari sisi pelayanan kesehatan. Pasalnya, daya tahan tubuh bayi sangat rentan, apalagi ketika harus bertahan di daerah yang penuh asap.
Polusi udara yang parah akibat asap bukan hanya menyerang pernapasan, tetapi juga pencernaan. "Makanya, banyak bayi di daerah bencana yang gejala awalnya itu terkena diare baru kemudian terkena ISPA. Jangan hanya karena gejala diare, dianggap tidak ada hubungannya dengan asap," kata Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris dalam siaran persnya, Kamis (15/10).
Pemerintah pusat harus menginstruksikan semua rumah sakit di daerah bencana untuk memberikan pelayanan kesehatan kelas satu kepada semua bayi korban asap.
Menurut dia, bencana asap telah menyadarkan kita bahwa Indonesia sama sekali belum menjadikan anak sebagai subyek yang tak terpisahkan dalam perancangan dan penerapan kebijakan, rencana, dan standard penanggulangan bencana. Padahal merekalah yang paling menderita dari setiap bencana.
Dalam waktu dekat, DPD akan membicarakan soal perlindungan anak saat bencana dengan kementerian/lembaga terkait terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, termasuk dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
"Saya berharap ke depannya kita punya sistem yang rapi, terintegrasi, komprehensif, berkesinambungan, serta menjamin kebutuhan anak," ucap Fahira. Termasuk, kata dia, dalam pencegahan maupun penanggulangan situasi bencana. Ini penting karena peradaban sebuah bangsa itu dilihat dari bagaimana bangsa tersebut melindungi anak-anaknya.