Kamis 15 Oct 2015 22:47 WIB

Ekonom: Perlu Ada Standard Kebutuhan Hidup Layak Buruh

Rep: Risa Herdahita/ Red: Nur Aini
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Formulasi penghitungan upah buruh yang ditetapkan pemerintah dinilai belum bisa memenuhi tuntutan buruh. Pemerintah dinilai perlu menentukan standard kebutuhan hidup layak (KHL) buruh agar mampu meredam gejolak pengupahan.

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan upah buruh setiap tahunnya. Kenaikan itu dengan perhitungan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.  Keputusan itu termasuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV yang baru saja diluncurkan sore ini, Kamis (15/10). Dalam paket kebijakan yang baru itu, pemerintah kini menggarisbawahi mengenai sistem pengupahan buruh, tindak lanjut Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Kredit UKM untuk mencegah meluasnya PHK.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eni Sri Hartati menilai soal formula dalam kenaikan upah buruh memang diakui bisa menyelesaikan ketidakpastian kenaikan upah. Menurutnya, dengan ini pengusaha akan mampu memprediksi Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun depan.

"Tetapi ini belum bisa menyelesaikan dan meredam tuntutan buruh," ungkapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (15/10).

Ia mengatakan, hal ini akan bisa meredam jika saja pemerintah sudah menetapkan standardisasi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurutnya, hal ini akan bisa mengakomodasi, baik kepentingan pengusaha maupun buruh.

"Ini harus ada dulu. Kan bisa disurvei secara independen, misalnya oleh BPS. BPS kan pasti sudah punya data pengeluaran buruh dan data inflasi masing-masing daerah,"  jelasnya.

Ia berpendapat, sebenarnya keputusan ini sudah benar, hanya saja butuh transisi sebelum menentukan formula semacam ini. "Ini kan mengakomodasi kepentingan mereka tapi seolah-olah, seolah-olah ya, mengabaikan mereka, kan jadinya kontraproduktif," ujarnya.

Jika hal itu tidak dilakukan terlebih dahulu, tahun depan tidak menutup kemungkinan buruh kembali akan melakukan aksi demonya seperti hari ini. Maka, Eni pun mengusulkan supaya standardisasi KHL bisa dilakukan. Ini pun semestinya ditentukan pada masing-masing provinsi secara tansparan.

"Berapa KHL masing-masing provinsi. Berapa inflasi daerah, pertumbuhan ekonomi daerah, UMP juga harus per daerah. Standardnya jelas. Ini kan kemampuan masing-masing daerah pasti berbeda," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement