REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 1500 hingga 1800-an, berbagai negara Eropa melakukan praktik perdagangan budak yang tidak manusiawi. Selama periode itu, lebih dari 12 juta orang Afrika dibawa ke Amerika Utara dan Selatan dengan menggunakan kapal untuk dipekerjakan sebagai budak.
Sebagian besar kaum budak itu datang dari Senegambia, sebuah kawasan di pantai barat Afrika, dan sebagian lainnya dari negara-negara di sekitar Teluk Benin seperti Benin, Togo, dan Nigeria. Patut dicatat, hampir seluruh budak dari kawasan itu adalah Muslim.
Pada era 1400-an, orang-orang Wolof dan Mandinke dari Senegambia sepenuhnya Muslim. Mereka sangat terdidik dalam hal agama Islam. Banyak sarjana di antara mereka. Orang-orang Yoruba, Nupe, dan Hausa dari Benin juga sepenuhnya Muslim sejak 1500-an.
Brasil sendiri adalah koloni Portugis sampai tahun 1822, ketika negeri di Amerika Latin itu mendapatkan kemerdekaan. Praktik perdagangan budak bermula ketika muncul permukiman Portugis. Perbudakan ini berlangsung sampai pengujung 1800-an.
Ketika budak-budak Muslim itu bekerja di Brasil, mereka tetap memegang teguh jati diri mereka sebagai Muslim. Mereka bahkan menolak berpindah keyakinan menjadi Katolik seperti tuan mereka, orang Portugis atau Brasil.
Hebatnya, meski hidup sebagai budak, mereka mampu mendirikan sebuah komunitas Islam yang memiliki ulama, masjid, sekolah, dan sejumlah kegiatan keagamaan. Komunitas itu berpusat di Negara Bagian Bahia, Brasil bagian timur. Di Salvador, ibu kota Bahia, terdapat lebih dari 20 masjid yang dibangun oleh budak ataupun orang merdeka.
Pada 1814 hingga 1816, budak Muslim di Bahia merencanakan sebuah pemberontakan melawan orang Portugis. Mereka ingin menggulingkan penegak hukum, membebaskan seluruh budak, dan menyita kapal-kapal agar mereka bisa kembali ke Afrika. Namun, akibat ulah budak yang menjadi mata-mata polisi setempat, pemberontakan itu gagal total bahkan sebelum sempat dilaksanakan. Pemimpin pemberontakan pun dibunuh oleh Portugis.
Pada kurun waktu 20 tahun setelah pemberontakan yang gagal itu, budak Muslim maupun non-Muslim beberapa kali berupaya mengobarkan pemberontakan serupa tetapi selalu menumbuk kegagalan.
Meski sama-sama berasal dari Afrika, para budak di Bahia berasal dari etnis dan wilayah yang berbeda-beda. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Meski demikian, selama di Brasil mereka bisa bersatu di bawah panji Islam.
Budak Muslim di Bahia akan lebih bersahabat dengan teman sesama Muslim dari etnis berbeda daripada dengan non-Muslim meski dari etnis yang sama. Sepanjang sejarah islam, persatuan seperti inilah yang membangkitkan kekuatan dan rasa solidaritas.
Gagalnya pemberontakan pada 1814 dan 1819 memaksa para budak Muslim Bahia bersembunyi. Seluruh kegiatan keislaman ditekan oleh pemerintah. Meski bersembunyi, para pemimpin dan cendekiawan Muslim di wilayah itu giat mengislamkan orang-orang Afrika lainnya, baik penganut Katolik maupun animisme. Hal ini terjadi pada kurun waktu 1820-1830.
Para organisator di balik pemberontakan itu adalah ulama-ulama populer pada masa itu. Mereka sangat terpandang dan dihormati. Salah satu ulama kondang itu adalah Syekh Dandara, orang kaya yang merdeka. Ada pula Syekh Sanim, seorang budak berusia lanjut yang mendirikan sekolah untuk mengajarkan Islam, dan Malam Bubakar Ahuna, cendekiawan Muslim yang terkenal di seluruh Bahia. Malam Bubakar kerap mengorganisasi acara-acara keislaman.
Para cendekiawan Muslim ini menggunakan masjid sebagai basis operasinya. Di sana mereka membahas rencana pemberontakan, menyimpan senjata, dan mendidik penduduk asal Afrika. Di masjid ini pula Malam Bubakar mendeklarasikan seruan jihad. Melalui sebuah dokumen berbahasa Arab, ia menyeru seluruh umat Islam untuk bersatu dan memberontak kepada tuan-tuan mereka.
Sumber: Pusat Data Republika