REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seruan pemberontakan budak Muslim diketahui penguasa. Namun, rencana pemberontakan sudah telanjur matang dan sudah disebarluaskan kepada umat Islam di seluruh Bahia.
Maka, meski tanpa Malam Bubakar, pemberontakan tetap dikobarkan. Sesuai rencana, seusai shalat Subuh pada 25 Januari 1835, atau 27 Ramadhan 1250 Hijriyah, kaum Muslimin Bahia mulai beraksi. Tanggal 27 Ramadhan sengaja dipilih karena diyakini sebagai tanggal baik mengingat saat itu sangat mungkin terjadi Lailatul Qadar. Harapannya, dengan memilih tanggal ini, kaum Muslimin Bahia berada dalam kondisi spiritual tertinggi sehingga menumbuhkan peluang lebih besar untuk sukses dalam perjuangan.
Sembari menghunus senjara, kaum revolusioner muslim ini keluar dari masjid dan siap mengobarkan aksi bersenjata di pagi buta. Mereka mengenakan jubah putih panjang dan peci sebagai identitas Muslim.
Beberapa jam sebelumnya, sebagian dari mereka telah lebih dulu berbaris di sepanjang jalan di Kota Salvador untuk menarik simpati para budak lain, baik Muslim maupun non-Muslim, agar mau bergabung dengan mereka. Pada malam itu, tak kurang 300 budak dan mantan budak yang berbaris menuju kota.
Namun, penguasa setempat ternyata telah bersiaga. Gubernur Bahia mengerahkan angkatan bersenjata untuk melawan para pemberontak. Pertempuran pun tak terelakkan. Ratusan budak Muslim berkulit hitam asal Afrika berlaga di jalanan Salvador melawan lebih dari 1.000 tentara dengan persenjataan lebih canggih. Dalam pertempuran tak seimbang yang berkobar sekitar satu jam itu, kaum Muslimin menderita kekalahan. Lebih dari 100 kaum Muslimin tewas. Sementara di pihak tentara Brasil, korban tewas hanya 14 orang.
Akibat kekalahan itu, kaum revolusioner Muslim pun gagal menggulingkan pemerintah, membebaskan para budak, dan merebut kapal-kapal yang akan membawa mereka pulang ke Afrika. Sepintas, perjuangan mereka telah gagal dan tak ada lagi harapan. Namun sejatinya, harapan itu masih ada.
Kekalahan dalam pemberontakan 27 Ramadhan 1250 Hijriyah itu mengakibatkan para ulama diadili dan dijatuhi hukuman mati. Sedangkan, para budak yang ambil bagian dalam pemberontakan diganjar hukuman beragam, mulai dari djebloskan ke dalam penjara sampai dicambuk.
Meski sepintas terlihat gagal, sejatinya ada sisi positif yang bisa dipetik dari pemberontakan tersebut. Salah satunya, seusai pemberontakan, muncul ketakutan besar terhadap orang-orang Afrika, khususnya yang beragama Islam. Berangkat dari ketakutan itu, penguasa Brasil kemudian mengeluarkan undang-undang untuk mendeportasi secara massal orang-orang Afrika ke tanah kelahirannya.
Nah, bukankah salah satu tujuan pemberontakan Bahia adalah kembali ke Afrika? Jika menilik hal ini, maka pemberontakan Bahia bisa dikatakan berhasil.
Yang lebih penting lagi, pemberontakan Bahia memicu munculnya gerakan antiperbudakan di seluruh Brasil. Meski praktik perbudakan tetap ada hingga 1888, pemberontakan Bahia telah berhasil memicu perdebatan publik tentang keuntungan dan kerugian keberadaan budak Afrika terhadap masyarakat Brasil. Hal ini dipandang sebagai salah satu peristiwa paling penting dalam perjuangan kemerdekaan kaum budak di Brasil.
Pemberontakan Bahia menjadi fenomenal karena karakter keislamannya. Aksi itu diatur dan direncanakan oleh para pemuka agama Islam dan didukung oleh orang-orang Muslim asal Afrika. Tanpa Islam sebagai faktor pemersatu, pemberontakan tersebut tidak akan mungkin terjadi.
Selama beberapa dekade, Islam terus berkembang sebagai suatu kekuatan di Brasil. Tekanan demi tekanan yang dilakukan pemerintah Brasil pasca pemberontakan tak mampu menghapus agama Allah SWT ini dari Bumi Samba. Pada 1910, tercatat masih ada sekitar 100 ribu Muslim di Brasil. Islam pun tercatat dengan tinta emas sebagai agama yang mempengaruhi perjalanan sejarah di Amerika Selatan, khususnya Brasil. Pengaruh ini sepertinya akan terus berlangsung, bahkan kian berkembang, di masa depan.
Sumber: Pusat Data Republika